Rss Feed

SAMPAH

Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Hari ini saya dimintai tolong untuk mengantarkan temen yang mau ujian di Fakultas Ekonomi (Ekstensi), seperti biasa jalan kampus terlihat lengang dihari minggu dan uadarpun terasa lebih sejuk dari biasanya karena mungkin jumlah kendaraan yang melintas jauh lebih sedikit dari hari biasanya. Namun, setelah saya memasuki jalan HR.Boenyamin ada sedikit pemandangan yang mengganggu mata saya. Ya, pemandangan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah ceceran sampah yang hampir menghiasi setiap sudut jalan. Sangat disayangkan memang keindahan pagi di kota purwokerto harus dicemari oleh tumpukan sampah dari orang-orang yang kurang bertanggungjawab terhadap lingkungan. Ironisnya ceceran sampah-sampah tersebut merupakan peninggalan aktivitas para mahasiswa yang menghabiskan malam akhir pekanya. Kenapa saya katakan ironis, karena mahasiswa merupakan orang yang harusnya lebih memiliki kesadaran terhadap kebersihan lingkungan, mahasiswa dididik dan dibesarkan dalam lingkungan yang mengajarkan etika dan tata nilai kehidupan sosial yang lebih baik dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya, karena itulah mereka disebut sebagai kaum intelektual (kaum yang berfikir), berfikir akan apa yang dia lakukan?, baik atau tidak?, bermanfaat atau tidak bermanfaat?, atau dengan kata lain mahasiswa harusnya menjadi orang yang lebih bijak dalam perbuatanya, termasuk perbuatan terhadap lingkunganya. namun entah kenapa mahasiswa seakan menjadi orang-orang yang melupakan akan hal itu, intelektualitas mereka seakan tersumbat oleh egonya yang sedang mencari sebuah kepuasan tanpa diimbangi dengan sikap yang bertanggung jawab atas perbuataanya tersebut.
Mungkin ada yang mengatakan, hal tersebut adalah permasalahan yang sepele yang tidak penting untuk diperdebatkan. Lebih penting membahas masalah ekonomi, hukum, politik biar terlihat lebih intelek. Namun tidak bagi saya, karena kalau mengutip kata-kata bijak bahwa sesuatu hal yang besar selalu dimulai dari hal-hal yang terkecil. Misal, seorang manusia bisa berjalan dan berlari berawal dari tengkurep, berangkang, berdiri, berjalan dan baru berlari, tidak mungkin manusia dilahirkan langsung bisa berlari. Demikian juga dengan permasalahan sampah ini, sesuatu hal yang dianggap kecil ini ternyata belum mampu untuk disikapi secara bijak oleh para mahasiswa, apalagi kalau misalkan mahasiswa tersebut dihadapkan pada sebuah masalah yang lebih besar?, apakah mungkin mahasiswa tersebut bisa bertanggung jawab, toh untuk urusan yang kecil saja mereka belum mampu untuk bertanggungjawab. Inilah yang kemudian perlu kita pertanyakan. Potret buram dari para intelektual yang hidup dilingkungan akademis, tapi ternyata tingkat kesadaran dan sikap tanggung jawab terhadap lingkunganya jauh lebih rendah dibandingkan dengan petugas kebersihan kampus yang setiap pagi selalu membersihkan sampah-sampah yang berserakan. Sebuah evaluasi bagi kita semua, bahwa sesuatu hal yang besar selalu dimulai dari hal-hal yang kecil. Sebelum kita berbicara tentang hal-hal yang besar seperti kondisi ekonomi, politik, hukum, dll dinegeri ini, cobalah kita bertanya apakah kita sudah bertanggung jawab terhadap diri kita?, apakah kita sudah bertanggung jawab terhadap lingkungan kita?, apakah kita sudah membuang sampah pada tempatnya?, kalau belum mari kita memulainya. kecil memang, tapi paling tidak itu jauh lebih riil dan bermanfaat bagi lingkungan dan banyak orang…..”KALAU ITU MUDAH KENAPA TIDAK DILAKUKAN”. SELAMAT MENCOBA….

SD & SMP Gratis, SMA Semakin Tak Terjangkau Dan Bangku Kuliah hanya Sebatas Mimpi..?

Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Biar bapaknya sopir angkot anaknya bisa jadi pilot…
Biar bapaknya loper Koran anaknya bisa jadi wartawan…

Akhir-akhir ini mata dan telinga kita sering dimanjakan dengan layanan iklan dari dinas pendidikan nasional yang sedang mensosialisasikan salah satu program unggulanya yakni program sekolah gratis. Hampir setiap hari layanan iklan tersebut diputar di berbagai stasiun TV, sampai-sampai semua kata-kata yang menjadi jargon dari program tersebut terasa sudah hafal di luar kepala kita. Iklan layanan tersebut juga mengambil icon ibu muslimah dalam film laskar pelangi untuk semakin memperkuat citra dan menciptakan daya tarik tersendiri bagi masyarakat akan program tersebut. Salah satu slogan dari iklan tersebut adalah “biar bapaknya sopir angkot anaknya bisa jadi pilot dan biar bapaknya jadi loper koran anaknya bisa jadi wartawan, yang terpenting ada kemauan?”. Ya, sebuah slogan yang memberikan harapan bagi masyarakat untuk bisa merubah nasibnya lewat jalur pendidikan formal. Namun apakah benar semudah itu seorang bapak bisa menjadikan anaknya menjadi seorang pilot, wartawan, dokter, dll?, apakah benar negeri ini telah memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap pendidikan anak-anak bangsa yang punya mimpi dan cita-cita?, ataukah itu hanya sebatas jargon yang memberikan mimpi-mimpi palsu bagi masyarakat kita??.
Sebenarnya, saya menyambut baik dengan program sekolah gratis yang dikeluarkan pemerintah tersebut, artinya mulai ada kepedulian yang serius yang ditunjukan oleh pemerintah terhadap dunia pendidikan kita, namun ketika kita coba memotret realitas pendidikan itu secara komprehensif tanpa memisahkan antara SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi maka saya kira pendidikan di negeri ini masih terasa begitu menyulitkan bagi masyarakat Indonesia secara luas, khususnya masyarakat miskin atau dengan kata lain masih terjadi diskriminasi dan ketidakadilan akses pendidikan terhadap masyarakat miskin. Kenapa saya katakan demikian?, mari kita coba lihat realitas pendidikan di negeri ini secara lebih luas lagi. Mungkin merupakan sebuah prestasi bagi pemerintah karena telah menelurkan program sekolah gratis untuk SD dan SMP, namun bagaimana dengan SMA/SMK dan Perguruan Tinggi?, apakah masih bisa dijangkau oleh masyarakat?, atau jangan-jangan malah semakin jauh dari mimpi-mimpi anak-anak di negeri ini?.
Di negeri Indonesia ini untuk masuk SMA/SMK ternyata masih membutuhkan biaya yang sangat tinggi, bahkan cenderung mengalami kenaikan setiap tahunya. Ambilah contoh biaya sekolah SMA/SMK di Kota Tegal, di SMA 1 Kota Tegal yang merupakan salah satu SMA favorit SPPnya mencapai Rp.175.000/bulan bahkan untuk uang masuknya (uang pangkal) mencapai 1-2 juta’an, tidak jauh beda dengan SMA N 1, Di SMA N 2 Kota Tegal biaya SPPnya juga mencapai 100.000/bulan, demikian juga dengan SMA lainya. Saya kira itu merupakan angka yang cukup fantastis bagi seorang abang tukang becak yang penghasilan tidak menentu, atau juga bagi para buruh yang pengahasilanya hanya cukup untuk makan, bahkan itu juga terkadang masih harus ngutang kanan-kiri. tidak jauh beda dengan realitas di SMA, diperguruan tinggipun kita akan mendapati hal yang serupa bahkan lebih parah dari itu. Dengan diterapkanya UU BHP (badan hukum pendidikan) maka seluruh perguruan tinggi negeri (PTN) di negeri ini tidak lagi mendapatkan subsidi dari pemerintah atau dengan kata lain telah terjadi privatisasi terhadap pendidikan. Pendidikan tidak lagi dimaknai sebagai barang public dimana pemerintah sebagai penenggungjawab utamanya, tapi pendidikan dimaknai sebagai sebuah komoditas yang diperjualbelikan. Hal tersebut tentu saja berdampak pada semakin tingginya biaya pendidikan di perguruan tinggi karena secara otomatis pihak perguruan tinggi akan berusaha mencari post-post dana potensial untuk menggantikan post dana yang telah dicabut oleh pemerintah. Dan post dana yang dianggap potensial dan paling mudah untuk didapat adalah post dana dari mahasiswa. Hal tersebut telah terjadi diberbagai Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia. Ambilah contoh di universitas tempat saya menuntut ilmu yakni Universitas Jenderal Soedirman yang telah bermetamorfosis dari PTN menjadi Badan Hukum Pendidikan. Dulu Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) dikenal sebagai salah satu universitas termurah di dunia, dimana biaya SPP untuk persmesternya hanya sekitar Rp. 250.000/smester sebuah angka yang saya kira masih terjangkau. Namun saya tegaskan kembali itu dulu, ketika sang penguasa kampus masih memaknai filosofi kehidupan sang jenderal soedirman yang naik kuda, namun sekarang ini sang penguasa kampus mungkin sudah mulai bosan melihat sang jenderal soedirman naik kuda terus sehingga sang penguasa kampus menginginkan sang jenderal soedirman agar bisa naik mobil. Untuk itulah kemudian sang penguasa kampus mulai melakukan praktik-praktik komersialisasi terhadap pendidikan di kampus sang jenderal soedirman ini. Dampaknya sungguh fantastis, ditahun 2009 ini biaya pendidikan di Unsoed naik berlipat ganda dari 250.000/smester di tahun 2003 menjadi Rp.1.850.000/smester . belum lagi dengan uang sumbangan yang sekarang ini diberi label BOPP yang angkanya mencapai 3-30 juta’an, bahkan di fakultas kedokteran bisa mencapai 100 juta keatas (baca: brosur UNSOED). Sebuah angka yang saya kira teramat berat bahkan bisa dikatakan mustahil bagi anak-anak tukang becak, buruh, nelayan, petani, pemulung, dan kaum miskin lainya. lantas apakah ini yang kemudian di inginkan oleh pemerintah?, dimana anak-anak bangsanya hanya bisa mencicipi pendidikan sampai batas SMP saja karena untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi terasa begitu sulit, karena masalah biaya. Bukankah untuk menjadi pilot, wartawan, dokter, dosen, dll itu tidak cukup hanya mengenyam pendidikan sampai SMP?, bukankah kalau seperti itu sebenarnya pemerintah tidak memiliki keinginan untuk mengantarkan anak-anak bangsa di negeri ini untuk mewujudkan impian dan cita-citanya?, bukankah pendidikan SD dan SMP hanya akan menegantarkan mereka sebagai pewaris dari profesi ayahnya, sehingga slogan yang tepat adalah “bapaknya sopir ya anaknya juga besok jadi sopir dan bapaknya loper koran ya anaknya juga besok jadi loper koran, karena kemauan itu terhalang oleh biaya”, sepakatkah anda?
Relitas tersebut memberikan isyarat kepada kita bahwa sebenarnya belum ada kesadaran penuh dari pemerintah dalam meweujudkan salah satu cita-cita Negara kita, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan di negeri ini saya nilai masih sangat parsial dan bersifat kontradiktif, di satu sisi pemerintah berusaha membebaskan biaya pendidikan untuk SD dan SMP tapi disisi yang lain pemerintah malah justru melepaskan tanggungjawabnya terhadap pendidikan tinggi. Lantas sebenarnya apa yang menjadi tujuan dari kebijakan-kebijakan tersebut?.
Dalam pandangan saya pemaknaan terhadap pendidikan haruslah bersifat komprehensif dan holistic, pernyataan saya tersebut memiliki arti bahwa pemerintah harus memaknai semua jenjang pendidikan formal sebagai sesuatu hal yang penting dalam upaya mencerdasakan kehidupan bangsa sehingga pemerintah juga harus berusaha untuk membuka akses pendidikan seluas-luasnya kepada masyarakat tanpa adanya diskriminasi, baik itu SD, SMP, SMA maupun PT. ketika hal tersebut sudah mampu diwujudkan oleh pemerintah barulah kemudian saya mengatakan bahwa pemerintah telah memiliki komitmen yang serius terhadap dunia pendidikan dan saya kira anak-anak bangsa di negeri ini juga akan semakin bersemangat dalam mngejar mimpi dan cita-citanya dan terakhir saya yakin bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar dan bermartabat ketika hal tersebut mampu untuk diwujudkan.

Penulis Adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Angkatan 2005.