Rss Feed

PREDATOR ITU BERNAMA UAN

Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Kalau saya boleh menganalogikan UAN dengan sesuatu hal yang paling extreme dan menakutkan, maka saya menganalogikan UAN sebagai sebuah predator yang siap memangsa semua siswa yang akan mengikutinya. Kepada siswa manapun kita bertanya berkaitan dengan UAN maka yang akan muncul adalah ekspresi ketakutan, cemas, khawatir, dan ekspresi negative lainya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa UAN adalah sebuah momok yang sangat menakutkan bagi para siswa. Hal tersebut juga merupakan sebuah kondisi yang tidak baik bagi para siswa, secara psikis dan mental siswa sudah di buat down terlebih dahulu sebelum menghadapi UAN, padahal orang sepintar apapun kalau berada dalam keadaan yang tertekan dan di hantui rasa ketakutan yang luar biasa maka dia akan menjadi orang yang bodoh.

Penerapan kebijakan UAN sendiri sudah di mulai sejak tahun ajaran 2003-2004 dengan standart nilai kelulusan 3,01 kemudian terus berkembang hingga sekarang dengan standar nilai 5.5, itu artinya UAN sudah 7 tahun menjadi sebuah predator menakutkan yang memangsa siswa-siswa yang mengikutinya. Apa yang saya ungkapkan tersebut bukanlah sebuah isapan jempol belaka, data statistic memberikan sebuah gambaran betapa UAN telah banyak memakan korban, pada tahun 2007 angka ketidak lulusan mencapai 10 % dan pada tahun 2008 meningkat mencapai 12 %, atau sekitar 250.000 siswa tidak lulus UAN (sampoerna foundation). Lebih tragisnya lagi, di berbagai daerah UAN juga telah banyak memakan korban jiwa bagi para siswanya, Misalkan di banyumanik-semarang seorang siswa nekat bunuh diri dengan melompat ke dalam sumur gara-gara tidak sanggup menahan beban psikis karena tidak lulus UAN (Suara Merdeka, 25 juni 2009), atau di NTT seorang siswa juga nekat bunuh diri gara-gara tidak lulus UAN (YouTube, 19 juni 2008), itu artinya UAN telah menjadi predator masal masa depan anak bangsa.

Dalam kacamata saya sebagai seorang awam, paling tidak ada dua permasalahan yang muncul dari pelaksanaan UAN tersebut.

1. Ketidakadilan pendidikan
Standarisasi nilai kelulusan dalam UAN merupakan sebuah bentuk ketidakadilan yang sangat nyata ketika kita membandingkan antara sekolah-sekolah di kota besar dengan sekolah-sekolah di pelosok-pelosok daerah. Di lihat dari segi apapun semuanya akan terlihat timpang, baik dari segi sarana dan prasarana maupun dari segi jumlah dan kualitas tenaga pendidik yang dimiliki.

Saya jadi teringat ketika saya melakukan riset di desa klaces kecamatan kampong laut kabupaten cilacap. Walaupun riset yang saya lakukan bukan riset tentang pendidikan, namun karena saya tinggal di situ selama 2 minggu sedikit banyak saya bisa melihat berbagai realitas yang terjadi disana. Termasuk realitas pendidikanya, terus terang saya sangat miris ketika melihat fasilitas sekolah dan keadaan geografis disana, jangankan untuk memiliki kompoter listrikpun disana baru bisa di nikmati warga sana hanya pada saat menjelang magrib sampai pukul 9 malem. Lebih tragisnya lagi para siswa hanya bisa menikmati jam sekolah selama 3 jam saja yakni dari pukul 10.00 – 13.00. kenyataan tersebut belum termasuk banjir rob air laut yang menjadi makanan sehari-hari mereka. Lantas, adilkah ketika sekolah dengan kondisi seperti itu harus di adu dengan sekolah-sekolah di kota-kota besar yang memiliki fasilitas yang serba lengkap dengan standart nilai yang sama. Saya kira hanya orang-orang yang kurang waras saja yang mengatakan itu adil. Dan kondisi sekolah seperti yang saya contohkan di atas masih begitu banyak terjadi di pelosok-pelosok negeri ini, sehingga sangat wajar ketika banyak suara-suara yang mengluhkan ketidakdilan dan menuntut pemerataan pendidikan.

2. Ujian Di Bawah Tekanan
Standarisasi nilai kelulusan dalam UAN juga memiliki dampak psikologis yang sangat ;uar biasa bagi para siswa . seperti yang saya katakan di awal bahwa UAN seakan menjadi momok yang sangat menakutkan bagi para siswa, sehingga secara psikis mereka sudah sangat tertekan yang pada akhirnya membuat mereka cemas dan takut sebelum menghadapi ujian. Hal tersebut jelas merupakan sebuah kondisi yang tidak sehat bagi para siswa, bagaimana mungkin para siswa akan mampu mengerjakan soal-soal ujian dengan kemampuan yang maksimal sementara secara psikologis mereka suidah sangat tertekan. Implikasi negative dari kondisi tersebut adalah munculnya praktek-praktek kecurangan baik yang dilakukan oleh siswa maupun sekolah.

Kenyataan tersebut seharusnya bisa menjadi sebuah pelajaran bagi depdiknas bahwa kebijakan UAN untuk mengukur kemampuan siswa adalah kurang tepat dan malah menimbulkan berbagai masalah baru bagi dunia pendidikan.
Dari permasalahan tersebut, sebagai anak bangsa saya mencoba untuk menawarkan sebuah solusi agar dampak dari permasalahan UAN tidak berlarut-larut.

1. Hapuskan standarisasi kelulusan dan perketat standarisasi jenjang pendidikan di atasnya
Solusi pertama yang saya tawarkan tersebut memiliki makna ganda, pertama hapuskan standarisasi kelulusan artinya semua siswa yang mengikuti ujian nasional di beri sebuah kepastian bahwa mereka semua akan lulus, hal ini akan memiliki dampak yang positif secara psikologis karena dengan adanya jaminan semua siswa akan lulus ujian maka sugesti yang mereka terima adalah sugesti yang positif sehingga dalam mengerjakan soal-soal ujian para siswa akan jauh lebih tenang dan tidak tertekan. Lantas di mana penjagaan kualitasnya?, inilah makna kedua dari solusi yang saya tawarkan, dengan adanya jaminan semua siswa akan lulus, maka makna kelulusan yang ada adalah lulus dengan nilai yang baik atau lulus dengan nilai yang pas-pasan/jelek. Untuk memacu prestasi siswa tersebut maka yang perlu di perketat oleh pemerintah adalah standar nilai di jenjang pendidikan di atasnya, misalkan untuk SMP maka yang di perketat adalah persyaratan yang berupa standart nilai yang baik untuk bisa masuk ke SMA favorit, kemudian untuk SMA maka yang di perketat adalah persyaratan yang berupa standart nilai yang baik untuk bisa masuk ke PTN favorite. Dengan di perketatnya standart nilai di jenjang pendidikan di atasnya maka prestasi siswa akan tetap masih bisa di pacu tanpa adanya sebuah tekanan psikologis yang malah justru kontraproduktif.

2. Pemerataan pendidikan
Pemerataan pendidikan merupakan sesuatu hal yang mutlak di lakukan oleh pemerintah untuk bisa menjawab permasalahan ketidakadilan pendidikan serta meningkatkan mutu sekolah. Penyediaan fasilitas-fasilitas yang memadai seperti gedung sekolah yang layak pakai, sarana-sarana pendukung kegiatan belajar siswa, buku-buku, dan semua aspek insfrstruktur lainya harus bisa di penuhi oleh pemerintah ke seluruh pelosok negeri sehingga di harapkan nantinya tidak ada lagi cerita tentang sekolah yang bocor, ambruk, dindingnya retak, dll. Selain penyediaan fasilitas, peningkatan kualitas tenaga pendidik juga mutlak untuk di lakukan, karena sebaik apapun fasilitas yang di miliki ketika tidak didukung oleh tenaga pendidik yang berkualitas maka itu akan menjadi sesuatu hal yang sia-sia. Dengan seperti itu maka kesenjangan antar sekolah pelosok dengan sekolah di kota-kota besar akan bisa di minimalisir, dan persaingan secara kualitas pun akan terasa lebih adil.

Saya berharap pemrintah mulai membuka mata untuk bisa melihat realitas secara jernih dampak dari penyelenggaraan UAN, agar UAN tidak terus-terusan menjadi sebuah predator masal yang menakutkan bagi segenap anak bangsa yang sdang mrangkai mimpi dan cita-cita.