Rss Feed

OSPEK Dan Dagelan POLITIK MAHASISWA

OSPEK dan Dagelan POLITIK Mahasiswa
Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Kata orang bijak “pengalaman adalah guru yang paling baik buat kita”, dan secara pribadi saya sepakat dengan ungkapan tersebut. Pengalaman merupakan serangkaian kegiatan/aktivitas yang sudah pernah kita lakukan di dalam perjalanan hidup kita sehingga dari pengalaman tersebut kita bisa mengetahui kekurangan dan kelebihan dari apa yang sudah pernah kita lakukan sebelumnya. Pengalaman membuat kita jauh lebih bijaksana dan dewasa dalam menyikapi hidup dan kehidupan karena pengalaman telah membuka mata kita untuk melihat lebih jeli sebuah realitas. Ada banyak pertimbangan bagi orang-orang yang sudah berpengalaman dalam mengambil sebuah keputusan dalam hidupnya atau juga dalam menyikapi sebuah realitas yang dia lihat, dengar dan rasakan.
Tulisan saya ini merupakan salah bentuk dari sekumpulan pengalaman hidup saya di kampus yang ingin saya sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa yanng sekarang memegang tongkat estafet perjuangan kampus, karena menurut saya ada banyak pelajaran dan nilai yang dapat diambil dari apa yang akan saya tuliskan disini.
Salah satu pengalaman hidup saya dikampus yang ingin saya ungkap disini adalah tentang OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus). Ospek merupakan salah satu hajatan akbar bagi kampus FISIP UNSOED yang memiliki pesona dan daya tarik tersendiri bagi kalangan mahasiswa, baik itu mahasiswa lama maupun mahasiswa baru. Ini terlihat dari sejarah perkembangan OSPEK yang tidak pernah sepi dari perhatian mahasiswa. Selain itu, OSPEK juga memiliki nilai keistimewaan tersendiri dikalangan mahasiswa, khususnya kalangan aktivis. Ada yang memandang bahwa OSPEK merupakan satu fase awal pembentukan karakter mahasiswa yang diharapkan nantinya mampu melanjutkan perjuangan dikampus (pandangan idealis), ada juga yang memandang bahwa OSPEk adalah salah momentum untuk bisa melakukan proses-proses pengkaderan bagi sebuah organisasi, baik intra maupun ekstra (promo kader dan nyari kader baru), sampai ada juga yang menganggap bahwa OSPEK adalah salah satu ajang untuk ngeceng nyari mangsa baru (cewe nyari cowo en cowo nyari cewe). Begitulah ospek, begitu banyak motivasi seseorang yang memutuskan untuk menceburkan diri dalam pentas OSPEK.
Terlepas dari berbagai macam motif yang ada, yang jelas OSPEK merupakan salah satu kegiatan di kampus saya yang memiliki tensi POLITIK yang paling tinggi dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan lainya. Kenapa saya katakan demikian?, karena memang itulah kenyataanya, saya telah 3 kali mengikuti kegiatan OSPEK dan dua diantaranya saya masuk ke dalam divisi yang membuat konsep OSPEK yang dikenal dengan istilah SOSTRAN (Sosialisasi dan Transformasi), malah pada tahun 2007 saya adalah koordinatornya. dari sinilah kemudian saya banyak memotret kegiatan OSPEK dari berbagai sisi, baik itu dari sisi Politik (karena kebetulan pada saat itu saya adalah utusan dari ORMAS yang berkuasa dikampus), dari sisi sosial, dari sisi pembelajaran, dari sisi organisasi, dll. Satu hal yang kemudian saya anggap sangat dominan dalam kegiatan OSPEK adalah sisi politiknya, termasuk saya yang pada saat itu juga lebih menggunakan cara-cara politis dalam menjalankan kegiatan OSPEK tersebut.
Ada kawan dan ada lawan serta ada medan pertempuran (OSPEK), begitulah gambaran secara sederhananya. OSPEK adalah medan pertempuran antara berbagai macam kepentingan yang ada dikampus, oleh karena itu saya mengatakan bahwa OSPEK adalah kegiatan yang memiliki tensi Politik yang tinggi, karena disitu ada perang pemikiran, perang ideologi, bahkan juga ada perang personal, pembunuhan karakter, pembantaian, perkeelahian, percekcokan, kericuhan, penelikungan, kompromi, strategi dll.
Pengalaman saya pada tahun 2006 setidaknya bisa memberikan suatu gambaran betapa tinggi suhu politik kegiatan OSPEK, pada saat itu kebetulan saya menjabat sebagai Sostran muda. Ada suatu kejadian yang sangat mengejutkan bagi saya dan mungkin juga bagi temen-temen panitia yang lain, dimana ada sebuah tragedi pemeceatan terhadap ketua panitia OSPEK oleh divisi Ta’tib (tata tertib) karena sang ketua terlambat datang pada acara simulasi OSPEK, padahal sang ketua sudah menjelaskan bahwa dia terlambat karena harus mengurusi stand OSPEK yang ada di kampus EKONOMI, bagi saya ini adalah sebuah kejadian ajaib bin aneh, ternyata tidak hanya dinegara saja yang tentaranya melakukan KUDETA ternyata di OSPEK juga ada KUDETA oleh penjaga kemanan OSPEK (divisi Ta;tib). Saya berfikir, kenapa harus ada pemecatan padahal kita satu kepanitiaan yang harusnya saling melengkapi dan memperbaiki (idealnya sebuah kepanitiaan)?, maka jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan tersebut adalah kepentingan politis kelompok lebih dikedepankan daripada logika organisasi. Untuk membedah hal tersebut mari kita kenali masing-masing pihak yang terlibat, pertama sang ketua panitia, posisi ketua panitia merupakan salah satu posisi yang cukup strategis untuk melakukan pencitraan dalam kegiatan OSPEK selain SOSTRAN, dan memang sang ketua panitia juga merupakan salah satu orang yang masuk dalam bursa pencalonan presiden BEM dari utusan ormas pada saat itu, posisi yang strategis dan background dia sebagai orang ormas menjadikan kadar resistensi kelompok lawan (dalam hal ini adalah ta’tib/kelompok belakang/kelompok kiri) menjadi tinggi, sehingga mereka selalu mencari celah dan peluang untuk membunuh karakter sang ketua panitia agar citranya hancur, dan kebetulan sang ketua melakukan sebuah kesalahan yakni datang terlambat dalam kegiatan simulasi OSPEK, peluang ini tentu saja segera di gunakan oleh kelompok lawan untuk melakukan aksi pembunuhan karakter terhadap sang ketua panitia, mereka tidak peduli berbagai macam alasan yang dikeluarkan karena yang ada dalam fikiran mereka adalah sang ketua harus hancur namanya.
Kasus pemecatan ketua panitia tersebut hanya menjadi salah satu contoh dari tingginya tensi poltik kegiatan OSPEK, masih banyak contoh-contoh lain yang dapat membedah OSPEK dari sisi politik. Pada tahun 2007 dimana saya menjabat sebagai koordinator Sostran juga terjadi hal yang tidak jauh beda, dan kebetulan kali ini sayalah yang menjadi target man dari temen-temen kelompok belakang/kiri. Posisi saya yang menjadi target pembunuhan karakter pada saat itu menjadikan divisi yang saya pimpin selalu menjadi sasaran pembantaian dari temen-temen kelompok kiri/belakang, segala hal yang kami lakukan selalu salah dalam penilaian mereka. Apalagi pada saat itu rekan-rekan yang masuk dalam divisi sostran notabene adalah orang baru yang belum begitu mengenal medan di sostran, sehingga banyak yang shock dan stress dengan berbagai manuver politik yang dilancarkan kepada divisi sostran. Bahkan pada suatu malam evaluasi terjadi sebuah perdebatan sengit antara kami (sostran) dengan temen-temen ta’tib yang pada saat itu masih di backup oleh salah satu tokoh senior kampus yang notabene adalah koordinator sostran tahun kemarin. Perdebatan berlangsung begitu sengit, sampai-sampai dari divisi yang saya pimpin ada yang pinsan karena mentalnya sudah tidak kuat. Dengan segala kemampuan yang saya miliki, saya berusaha untuk tetap bertahan dengan konsep kami yang malam itu sedang digugat. Ibarat sebuah pertempuran, satu persatu persenjataan kami (sostran) pun berhasil dilucuti oleh pihak lawan, saya selaku pimpinan pada saat itupun merasa bahwa pertahanan kami (sostran) sudah semakin melemah dan sedikit kemungkinan untuk bisa memenagkan perdebatan pada malam itu. Akhirnya dengan berat hati malam itu kami menyerah, dan sayapun mengatakan “kalau memang itu yang temen-temen inginkan maka, kami (sostran) menyerahkan semuanya kepada temen-temen”. Dengan clossing statement dari saya tersebut akhirnya perdebatan malam itupun selesai untuk sementara dan akan dilanjutkan kembali pada jam 9 malam. Masing-masing dari kami pun memanfaatkan waktu tersebut untuk istirahat, dan sayapun segera bergegas ke ruang kesehatan untuk melihat kedaan dari salah satu rekan saya di sostran yang pinsan, saya melihat dia terbaring lemas, kata seorang yang merawat, dia selalu menyebut nama saya karena dia ternyata sangat khawatir dengan saya yang pada saat itu sedang di bantai habis-habisan. Dan sayapun tersenyum kepada dia dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja, setelah itu saya keluar dari ruang kesehatan untuk menemui rekan-reakn sostran yang lain.
Kekalahan tersebut benar-benar membuat saya terpukul dan pusing, namun saya tetap berfikir kalau saya tidak boleh kalah, masih ada satu hari bagi saya untuk bisa membalas kekalahan tersebut. Akhirnya pada malam itu saya memutuskan untuk datang terlambat pada rapat malam harinya, karena saya merasa perlu bertukar fikiran dengan salah seorang kawan yang mungkin saja bisa sedikit membuka kebuntuan pikiran saya pada saat itu. Akhirnya sayapun bergegas meninggalkan kampus untuk menemui kawan saya tersebut. Saya berbicara panjang lebar dengan dia, dan dia mengatakan bahwa strategi temen-temen belakang untuk tetap memaksakan konsep OSPEK sampai chaos merupakan strategi untuk menjebak saya agar dicitrakan buruk di temen-temen mahasiswa baru, dan yang harus kamu lakukan adalah tidak usah ikut masuk dalam kegiatan eksternalisasi tersebut. Tanpa banyak pertimbangan saya mengiyakan saran dari temen saya tersebut dan segera bergegas kembali ke kampus untuk mengikuti rapat yang tadi ditunda.
Sesampainya dikampus, ternyata belum banyak panitia yang hadir dan acaranya pun belum dimulai. Malam sudah semakin larut, terlihat jam yang berada dia atas pintu aula sudah menunjukan pukul 22.30. akhirnya dengan pertimbangan waktu rapatpun kembali dimulai untuk membahas konsep yang ditawarkan oleh temen-temen belakang. Rapatpun dimulai, sang senior kampus yang merupakan representasi dari temen-temen belakangpun memulai mempresentasikan konsep yang ditawarkan dalam acara eksternalisasi (ending kegiatan OSPEK) buat esok hari, dia menerangkan panjang lebar dari teoritis sampai tekhnis. Semua orang pada saat itu memperhatikan dengan sangat serius, kecuali saya mungkin yang hanya terdiam melihat hal tersebut sambil berfikir tentang apa yang tadi disarankan oleh temen saya. Namun, saya agak sedikit kaget setelah pembahasan tersebut sampai pada hal alur content yang perlu disampaikan dan siapa yang perlu menyampaikan. Ternyata hampir semua prediksi temen saya benar, sayapun langsung memutar otak untuk mempersiapkan medan pertempuran yang akan digelar besok pagi. Saran dari temen saya masih saya pegang, namun saya masih merasa ada yang kurang sepakat dengan saran temen saya tersebut. Sayapun terus berfikir, sampai akhirnya saya memutuskan untuk tetap mengikuti acara eksternalisasi, namun saya mengambil sisi amannya yakni dengan mengambil peran sebagai prolog dari acara eksternalisasi tersebut, sehingga saya tidak di cap sebagai pengecut di tataran panitia dan juga tidak dicitrakan buruk ditemen-temen mahasiswa baru.
Keesokan harinya suasana terasa sangat tidak nyaman bagi saya, karena pembantaian yang saya alami semalam masih terasa begitu menyesakan. Namun, sebagai seorang yang professional saya harus tetap menyelesaikan amanah ini sampai akhir. Dengan kondisi yang masih labil, saya masih berusaha untuk memperhatikan setiap gerak-gerik dari lawan politik saya di OSPEK, hal tersebut saya anggap penting sebagai bahan referensi untuk menajamkan strategi yang akan saya lakukan pas eksternalisasi.
Akhirnya, acara puncakpun dimulai sayapun sudah membagi setiap personal dalam divisi saya untuk memainkan peranya pas acara eksternalisasi. Divisi-divisi yang lainpun sudah menempati posnya masing-masing, suasana terasa begitu tegang, semua mahasiswa baru terdiam, tatib juga sudah memasang wajah sangarnya, sehingga menambah tegang suasana yang ada. Dengan pelan saya mulai menaiki panggung untuk berorarsi di depan mahasiswa baru, saya berorarsi dengan nada yang pelan tanpa adanya kata-kata yang bersifat provokativ sehingga tidak ada pengaruh yang cukup signifikan terhadap mahasiswa baru, kemudian pemain berikutnya mulai menaiki panggung, berbeda dengan saya pemain yang kedua ini sudah mulai menaikan grade sehingga nada suaranyapun mulai keras dan provokativ, setelah pemain kedua selesai munculah pemain ketiga untuk mengantarkan peserta OSPEK sampai tataran puncak, namun peserta OSPEK belum menunjukan reaksi yang diinginkan oleh panitia, sampai akhirnya pemain ke empat mulai berorasi dengan nada yang sangat lantang, sampai mungkin lidahnya keseleo dengan mengatakan “siapa yang berani melawan tatib?”, mendengar kata-kata tersebut peserta OSPEK mulai menunjukan reaksinya untuk melawan tatib sehingga suasanapun menjadi gaduh dan tidak terkendali, ada tatib yang jatuh karena terpukul oleh peserta, banyak juga peserta yang berteriak histeris, dll. Melihat situasi tersebut akhirnya saya dan temen-temen sostran mengambil langkah cepat untuk mengendalikan kondisi yang sedang kacau tersebut. Saya dan temen-temen sostran yang lain segera menaiki panggung untuk menenangkan peserta, dengan suara yang lantang saya mengatakan “komando ada ditangan saya kawan-kawan” dan temen-temen sostran mulai memberikan pengertian kepada peserta OSPEK agar suasana kembali menjadi tenang. Setelah suasana bisa dikendalikan saya dan temen-temen sostran kembali berorarsi dan menutup proses tersebut dengan sumpah mahasiswa Indonesia…
Dan akhirnya sebuah darama OSPEK selesai tanpa meninggalkan bekas apapun…..
Dan itulah yang selalu terjadi dalam setiap hajatan akbar yang bernama OSPEK…
Tidak ada tujuan yang jelas…
Tidak ada konsep yang matang…
Tidak ada cita-cita bersama…
Tidak ada perubahan…
Karena yang ada adalah konflik kepentingan…
Ketika OSPEK hanya dimaknai seperti itu maka selamanya tidak akan terlahir generasi yang mampu untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada dikampus….
Marilah renungkan Kawan….
Mudah-mudahan hal tersebut tidak terulang di OSPEK 2009….!!!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

saya baru baca tulisanmu ini mi. dan nampaknya perlu diberikan penjelasan lebih lanjut.

1). "... strategi ... chaos merupakan strategi untuk menjebak saya agar dicitrakan buruk di temen-temen mahasiswa baru, dan yang harus kamu lakukan adalah tidak usah ikut masuk dalam kegiatan eksternalisasi tersebut."

prasangka ini terlalu picik. mengapa? karena toh dari tahun ke tahun seringkali yang memainkan strategi itu dari "temen-temen belakang" lantas apakah dengan itu mereka sedang merusak citranya sendiri? apakah mereka sedang bunuh diri?

mengapa mereka berani mengambil sikap semacam itu? karena ini bukan sekedar citra.

2). "namun saya mengambil sisi amannya yakni dengan mengambil peran sebagai prolog dari acara eksternalisasi tersebut, sehingga saya tidak di cap sebagai pengecut di tataran panitia dan juga tidak dicitrakan buruk ditemen-temen mahasiswa baru"

ternyata kamu lebih politis dari "teman-teman belakang".

3). "Saya dan temen-temen sostran yang lain segera menaiki panggung untuk menenangkan peserta, dengan suara yang lantang saya mengatakan “komando ada ditangan saya kawan-kawan” dan temen-temen sostran mulai memberikan pengertian kepada peserta OSPEK agar suasana kembali menjadi tenang."

ending tulisanmu cukup lekat dengan "sindrom heroisme".

dah dulu mi, bila perlu kapan waktu kita obrolkan agar kamu tak mempunyai trauma sejarah.

nuwun.

firdaus putra

Posting Komentar