Rss Feed

BAD PUBLIC SERVICE KERETA API KALIGUNG

Oleh: Fahmi Fatkhurozi

I. KEBUTUHAN MASYARAKAT AKAN TRANSPORTASI
Kota semarang agaknya masih menjadi salah satu alternatif pilihan bagi masyarakat tegal untuk melakukan aktivitasnya, dari mulai yang berkarier sampai yang menuntut ilmu, karena memang status semarang yang merupakan ibu kota provinsi menjadikanya sebagai salah satu kota yang menawarkan banyak hal, dari mulai pekerjaan sampai perguruan-perguruan tinggi yang terkenal dan bonafit. Kenyataan tersebut tentu saja akan berdampak pada permasalahan transportasi yang menghubungkan antar dua kota tersebut karena semakin banyaknya masyarakat yang menggunakan jasa layanan transportasi tersebut, sampai sekarang ini ada dua transportasi yang bisa di gunakan oleh masyarakat Tegal yakni transportasi bus dan kereta api. Dari dua transportasi tersebut masyarakat Tegal lebih banyak yang memilih transportasi kereta api, hal tersebut di karenakan kereta api memiliki dua keunggulan di bandingkan bus, pertama biaya kereta api jurusan Tegal Semarang jauh lebih murah di bandingkan bus, dan yang kedua kereta api jauh lebih cepat di bandingkan bus, jadi bisa efisien waktu.

II. KELUHAN MASYARAKAT
Namun, sayangnya keunggulan transportasi kereta api tersebut tidak di dukung dengan sistem layanan yang baik, atau bisa di katakan layanan yang selama ini di berikan oleh pihak PT. KAI masih banyak menuai keluhan dari para pelanggan kereta api jurusan Tegal-semarang. Menurut saya ada dua hal pokok yang sering di keluhkan oleh pengguna jasa layanan kereta api tegal-semarang. Pertama, masalah keterlambatan kereta. Untuk permasalahan ini saya pernah mengalaminya sendiri, bahkan bukan hanya sekali dua kali saja tapi lebih dari itu. Sebagai contoh, Waktu itu saya habis ikut seleksi CPNS KPU Jawa Tengah dan habis test saya langsung begegas menuju stasiun untuk membeli tiket kereta api yang pukul 13.20, sesampainya di sana saya bersyukur karena saya belum mendapati antrian yang panjang di loket pembelian tiket, sehingga dalam waktu sebentar saya sudah bisa mendapatkan tiket. Setelah saya sudah mendapatkan tiket sayapun segera masuk ke tempat penungguan kereta api karena keretanya di jadwalkan berangkat pukul 13.20. karena waktu itu masih pukul 13.00 sayapun masih punya kesempatan untuk bisa sedikit beristirahat sambil minum softdrink. Beberapa saat kemudian munculah kereta api yang sudah saya tunggu, secara spontan semua calon penumpangpun berdiri untuk menyambut kedatangan kereta tersebut, para petugaspun sibuk untuk mengatur para calon penumpang agar tidak terlalu dekat dengan rel kereta api. Begitu pintu kereta terbuka semua calon penumpang segera berebut memasuki kereta agar bisa mendapatkan tempat duduk, suasana semakin sesak karena dari dalam keretapun banyak penumpang yang hendak turun, jadi desak-desakanpun tidak bisa di elakan lagi. Akhirnya semua orang sudah bisa memasuki kereta, dan saya bersyukur karena saya masih mendapatkan tempat duduk, namun selang beberapa manit saya duduk tiba-tiba ada pengumuman dari pihak stasiun bahwa semua penumpang di harapkan turun karena kereta api akan masuk depo terlebih dahulu. Dengan perasaan yang nge-grundel para penumpangpun pada turun dari kereta dan terpaksa harus menunggu lagi. Saya dan penumpang yang lainya menunggu sekitar ½ jam sampai akhirnya kereta tersebut datang kembali, dan seperti biasa semua penumpang kembali berdiri untuk siap-siap memasuki kereta api, begitu kereta api berhenti dan pintu terbuka semua orang kembali memasuki kereta dengan susah payah, dan sekali lagi saya bersyukur karena kali ini saya juga masih mendapatkan tempat duduk. Namun selang beberapa menit, saya dan penumpang yang lainya kembali di minta turun oleh petugas stasiun karena katanya kereta akan memasuki depo. Kali ini emosi saya dan penumpang yang lainya sudah mulai naik, gila sudah 2 kali susah-susah mendapatkan tempat duduk tapi di suruh turun dengan enaknya, udah gitu petugasnya juga tidak ada sopan-sopanya lagi, minta maaf kek, kita itu kan penumpang yang sudah bayar gerutu saya dalam hati. akhirnya dengan emosi yang sudah mulai naik saya dan penumpang yang lainyapun turun lagi dari kereta, saya dan penumpang yang lainyainyapun terpaksa harus menunggu kembali. Hampir 1 jam saya dan penumpang yang lainya menunggu kedatangan kereta, sampai akhirnya kereta tersebut datang dan semua penumpang akhirnya bisa menaiki kereta tanpa harus di suruh turun dan keretapun berangkat pada pukul 15.10. Luar biasa coba kita hitung berapa kerugian waktu yang di terima oleh penumpang, jadwal keberangkatan jam 13.20 sementara kereta berangkat pukul 15.10 berarti penumpang di rugikan waktunya sekitar 1 jam 50 menit atau hampir 2 jam. Gila, kalau saja ada sebagian penumpang yang pada saat itu sedang di kejar waktu karena urusan bisnis, maka penumpang tersebut juga akan di rugikan secara ekonomi. Kedua, masalah kenyamanan kereta. Untuk permasalahan ini saya juga punya pengalaman yang menarik, pada waktu itu saya akan mengikuti tes di suatu perusahaan swasta di semarang, test tersebut di jadwalkan pada pukul 09.00 sehingga saya memutuskan menaiki kereta kaligung bisnis yang berangkat pukul 04.50 karena perhitungan saya nanti saya nyampe di semarang sekitar pukul ½ 8 pagi. Sedikit menyinggung masalah keterlambatan juga, ternyata kereta juga telat sekitar 1 jam, kereta yang harusnya berangkat pukul 04.50 ternyata baru datang pukul 06.00. tapi saya tidak akan terlalu membahas kembali masalah keterlambatan kereta karena hal tersebut sudah saya bahas di point pertama. Masalah yang akan saya bahas di sini lebih kepada permasalahan kenyamanan para pengguna jasa layanan kereta api. Saya kira kalau kita mendengar kelas bisnis, pasti pikiran kita akan berfikir tentang fasilitas yang lumayan baik, tanpa ada yang harus berdiri, berdesak-desakan, ataupun duduk lesehan di lantai kereta. Namun, ternyata itulah kenyataanya, apa yang kita pikirkan ternyata sangat jauh dari kenyataan ketika kita membeli tiket namun sudah tidak mendapatkan tempat duduk, padahal biaya-nya tetep sama. Orang yang membeli tiket namun sudah tidak mendapatkan tempat duduk biasanya di tempatkan di gerbong paling belakang yang memang sudah di sediakan secara khusus, khusus dengan segala ketidaknyamanan yang akan di rasakan. Bukan hanya itu saja, kondisi gerbong kereta juga terlihat sudah tidak terawat, hal itu bisa di lihat dari beberapa kaca jendela yang sudah retak bahkan ada yang pecah, kipas angin yang tidak jalan, dan juga kamar mandi yang sangat kotor. Ini jelas semakin menegaskan bahwa kereta api yang di sediakan sangat jauh dari rasa nyaman.

III. BAD PUBLIC SERVICE
Apa yang saya kemukakan diatas adalah sebuah kenyataan yang riil terjadi dan bagi saya ini adalah permasalahan yang harus segera diselesaikan oleh PT. KAI sebagai pihak pemberi jasa layanan, karena ini menyangkut kelancaran dan kenyamanan aktivitas masyarakat secara umum, dalam konsepsi pelayanan public maka kondisi seperti ini bisa dikatakan sebagai “bad public service” karena banyaknya keluhan dari para pengguna jasa transportasi kereta api. Secara teoritis pelayanan publik dikatakan berkualitas apabila penggunanya merasakan kepuasan dari pelayanan yang di berikan tersebut. Kepuasaan sendiri di definisikan oleh Day dalam Tse dan Wilton(dalam Tangkilisan, 2005:211) yang menyatakan bahwa kepuasan atau ketidak puasan pelanggan adalah respon pelanggan (disconfirmation) yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kerja yang lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya. Berdasarkan disconfirmation paradigm dari Oliver dalam Engle et al., (dalam Tangkilisan, 2002:212) Kepuasan pelanggan sendiri mencakup perbedaan antara harapan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. Menurut Johns, kepuasan ditentukan oleh harapan dan persepsi konsumen. Dari berbagai pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan adalah respon yang diberikan pelanggan dengan membandingkan antara apa yang diharapkan dan persepsinya terhadap apa yang dirasakannya setelah mendapat pelayanan. Meskipun definisi tersebut menitik beratkan pada kepuasan atau ketidakpuasan, produk atau pelayanan namun pengertian tersebut juga dapat diterapkan dalam menilai kepuasan pelayanan publik. Dari realitas dan konsep pelayanan publik yang sudah saya kemukakan nampak jelas bahwa PT. KAI sebagai penyedia layanan jasa kereta api belum mampu memberikan kepuasan kepada pelangganya, paling tidak di nilai dari dua hal yang sering di keluhkan oleh masyarakat pengguna jasa layanan kereta api. Dan ini jelas merupakan sebuah PR yang harus segera di selesaikan jangan sampai para pengguna jasa layanan kereta api terus di rugikan baik waktu maupun materil karena pelayanan yang tidak baik. Dan mudah-mudahan tulisan saya ini juga bisa mewakili dari sekian banyak keluhan-keluhan para pengguna jasa layanan kereta api serta saya juga berharap tulisan ini bisa menjadi bahan koreksi dan evaluasi bagi PT. KAI untuk terus melakukan perbaikan dalam pemberian layanan jasa transportasi, agar kedepan kewajiban yang sudah di berikan oleh para pengguna jasa layanan kereta api bisa terbayar dengan pelayanan yang nyaman dan memuaskan.

DEMOKRASI ALA DUNIA MAYA; Dari Demonstrasi Jalanan Ke Demonstrasi Dunia Maya

Oleh: Fahmi Fatkhurozi

I. Masyarakat Transisi
Runtuhnya rezim orde baru yang represif dan cenderung otoriter pada tahun 1998 telah membuka lembaran kehidupan baru bagi bangsa ini, bangsa yang tadinya di hegemoni oleh tirani kekuatan militer yang membungkam dan melumpuhkan seluruh kekuatan politik yang ada kini telah tumbuh menjadi sebuah bangsa yang memberikan kebebasan bagi rakyatnya dalam semua aspek kehidupan, diantara kebebasan-kebebasan tersebut adalah kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat, dan lain sebagainya.
Perubahan tersebut tentu saja berdampak pada budaya masyarakatnya, perubahan tersebut mendorong masyarakat untuk berperan lebih aktif dalam menyikapi ataupun mengkritisi berbagai persoalan sosial-politik yang terjadi di negeri ini, mereka sudah tidak takut lagi di culik ataupun di bunuh seperti pada jaman orde baru ketika menyampaikan pendapat di muka umum, karena konstruksi pikiran mereka sudah berubah yang kemudian itu juga berdampak pada konstruksi sosial yang turut mengalami pergeseran dari masyarakat yang penakut menjadi masyarakat yang kritis dan pemberani. Hal tersebut dapat tercermin dari maraknya aksi demonstrasi yang di lakukan oleh masyarakat ketika ada sebuah permasalahan sosial, semua elemen masyarakat dari mulai mahasiswa, LSM, petani sampai kaum buruh akan turun ke jalan apabila ada suatu permasalahan yang merugikan mereka isu yang mereka angkatpun macam-macam dari mulai permasalahn mahalnya pendidikan, mahalnya harga sembako, kenaikan BBM, nasib buruh, sampai kasus yang sekarang menghebohkan seantero negeri yakni kasus penahanan bibit-candra oleh Polri. Namun demikian disini saya tidak akan terlalu membahas masalah aksi demonstrasi di jalanan karena bagi saya dan mungkin bagi kita semua itu adalah sesuatu hal yang sudah biasa dan menjadi pemandangan kita sehari-hari.

II. Dari Demonstrasi Jalanan Ke Demonstrasi Dunia Maya
Sesuatu hal yang lebih unik dan bahkan akhir-akhir ini sudah menjadi budaya masyarakat adalah terjadinya pergeseran pola pengkritisan masyarakat dari aksi jalanan dengan memobilisasi masa menjadi aksi protes lewat dunia maya. Pergeseran tersebut tentu saja merupakan sebuah dampak dari kemajuan tekhnologi informasi yang memungkinkan manusia untuk melakukan interaksi secara cepat dan mudah. Salah satu fasilitas tekhnologi informasi yang sekarang ini banyak di gunakan masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya adalah jejaring facebook. Melalui jejaring facebook yang memang merupakan media publik memungkinkan masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya secara terbuka yang bisa di lihat oleh khalayak umum. Biasanya pola yang di gunakan adalah dengan membuat sebuah ”group”, dimana ”group” tersebut biasanya menawarkan sebuah isu atau permasalahan yang sedang hangat di masyarakat. Salah satu contoh yang paling hangat adalah group ”gerakan 1.000.000 facebokers dukung bibit-chandra”, group tersebut ternyata begitu efektif dalam memobilisasi masyarakat untuk masuk di dalamnya, hasilnyapun sangat fantastis hanya dalam waktu 5 hari group tersebut sudah menyedot 500.000 faceboker’s untuk bergabung di dalamnya, bahkan sekarang ini angka tersebut sudah melebihi angka 1.000.000 faceboker’s. Ini tentu saja merupakan sebuah fenomena yang luar biasa, jumlah masa yang di mobilisasi lewat jejaring facebook ternyata melebihi jumlah masa ketika kita melakukan aksi demonstrasi di jalanan.

III. Budaya Demokrasi Ala Dunia Maya
Sesuatu hal yang lebih menarik, ketika aksi demonstrasi jalanan menyuguhkan kepada kita realitas pro dan kontra terhadap sebuah permasalahan, demonstrasi dunia maya juga menyuguhkan hal sama. ”Group” gerakan 1.000.000 faceboker’s dukung bibit-chandra” juga ternyata mendapatkan perlawanan dari orang-orang yang mendukung Polri dengan membentuk group ”gerakan 200.000.000 faceboker’s dukung POLRI”, hal ini tentu saja menambah gairah budaya berdemokrasi ala dunia maya, tidak jarang orang-orang yang masuk dalam group tersebut memberikan pernyataan-pernyataan yang cukup pedas dan memancing emosi pihak yang berseberangan. Bahkan pernah terjadi salah seorang aparat polri mendapatkan kritik pedas dari masyarakat dunia maya pendukung bibit-chandra karena pernyataanya yang cenderung provokatif dengan mengatakan bahwa ”Polisi tidak butuh masyarakat tapi masyarakatlah yang butuh Polisi”, lebih hebohnya lagi dampak dari pernyataan aparat polisi tersebut sampai ke dunia nyata, dimana aparat polisi tersebut mendapatkan teguran keras dari kesatuanya. Bagi saya kenyataan tersebut adalah sesuatu hal yang sangat luar biasa, karena ternyata facebook telah mampu menjelma menjadi sebuah media publik raksasa yang memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menyampaikan ide, gagasan, bahkan kritikan terhadap sebuah permasalahan sosial-politik yang terjadi di negeri ini. Jejaring facebook juga telah mengajarkan kepada masyarakat kita budaya berdemokrasi yang terbuka dan bertanggungjawab dan ini bisa menjadi salah satu media yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di negeri ini.

MAKNA SEBUAH KESUKSESAN DI TENGAH PERADABAN MATERIALISTIS

Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Rasa dilema dan resah lah yang pada akhirnya menggerakan saya untuk menggoreskan apa yang terjadi di lingkungan masyarakat kita dan kegundahan perasaan saya terhadap apa yang terjadi tersebut ke dalam sebuah tulisan ringan yang mungkin bagi sebagian orang tulisan ini adalah sesuatu hal yang konyol karena terlalu melawan arus realitas yang terjadi di masyarakat, dan secara jujur saya pun masih di dera rasa dilema ketika harus memikirkan hal ini.
Keinginan untuk menuliskan unek-unek saya ini semakin menguat ketika saya menonton sebuah film di layar televisi, saya lupa judulnya apa, tapi jalan cerita dalam film tersebut masih sangat kuat teringat dalam otak saya, karena bagi saya film tersebut sangat mewakili apa yang terjadi dalam masyarakat kita dan juga pada diri saya. Film tersebut menceritakan tentang idealisme seorang sarjana tekhnik (arsitek) yang berasal dari kampung di pinggiran kota jakarta yang ingin mendedikasikan apa yang dia miliki untuk mengajar di sebuah SD yang sangat sederhana yang bernama SD “Perintis Bangsa”. SD tersebut merupakan sebuah SD yang di peruntukan untuk menampung dan mendidik anak-anak yang tidak mampu, tidak seperti sekolah pada umumnya, anak-anak didik yang sekolah di SD tersebut juga tidak mengenakan seragam sekolah dan sepatu, biaya operasional SD tersebut sebagian besar juga di tanggung oleh salah satu guru dari 3 guru yang mengajar disitu. Kesederhanaan dari SD tersebut sama sekali tidak menawarkan materi dan kesuksesan dunia lainya. Jadi bisa di katakan guru-guru yang mengajar di SD tersebut adalah guru yang memiliki dedikasi yang tinggi terhadap pendidikan, mereka sama sekali tidak berfikir tentang materi karena mereka sadar dengan sepenuh hati bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah bentuk pengabdian bukan sebuah profesi yang berorientasi pada profit. Namun, apa yang di lakukan oleh salah seorang guru yang sarjana tekhnik tersebut ternyata mendapatkan pertentangan yang kuat oleh orang tuanya sendiri, Sang orang tua yang merasa telah banyak berkorban untuk menyekolahkan anaknya hingga menjadi seorang arsitek menginginkan anaknya tersebut menjadi seorang pegawai kantoran, karena ukuran kesuksesan setelah kuliah dalam pandangan orang tuanya tersebut adalah ketika sang anak bisa bekerja di kantor besar dan mendapatkan gaji yang besar, atau dengan kata lain ketika anaknya yang seorang arsitek tersebut bekerja sebagai seorang guru SD maka sang orang tua menganggap anaknya tidak berhasil. bahkan dari masyarakat sekitar juga banyak yang mempertanyakan pilihan hidup sang sarjana tekhnik tersebut yang dianggap bukan merupakan sebuah cerminan kesuksesan dari seorang sarjana, karena dalam pandangan masyarakat seorang sarjana harusnya bekerja di kantoran bukan sebagai guru SD. Pertentangan antar orang tua dan anak tersebut semakin kuat karena sang anak yang seorang arsitek tersebut lebih memilih untuk mengabdikan dirinya sebagai seorang pengajar di sekolah dasar yang sangat sederhana tersebut padahal panggilan-panggilan kerja dari kantor besar juga sering dia terima, walaupun memang pada akhirnya sang orang tua merestui pilihan anaknya tersebut.
Dari sedikit penggalan cerita dalam film yang saya ceritakan diatas dapat di ambil sebuah kesimpulan bahwa sebagian besar masyarakat kita dan mungkin juga orang tua kita ternyata mengukur sebuah kesuksesan dari sudut pandang yang terlalu sempit yakni “materi”, seakan-akan orang dikatakan sukses ketika dia memiliki posisi yang bagus dalam sebuah perusahaan besar ataupun di instansi-instansi pemerintahan, gaji besar, berdasi, punya mobil mewah dan ukuran-ukuran materil lainya. Bagi saya kondisi tersebut merupakan sebuah penyakit dan malapetaka yang terjadi di masyarakat kita, karena kondisi yang seperti itu akan memunculkan suatu penyakit sosial seperti yang dikatakan oleh Rasulullah yakni penyakit ubbud dunia (cinta dunia), ketika penyakit ini sudah menjalar dan mengakar kuat di masyarakat maka yang akan terjadi adalah terlahirnya manusia-manusia egois yang mengagung-agungkan kemewahan dunia, dan manusia-manusia tersebut akan selalu menilai sesuatu dari sudut pandang material, termasuk dalam hal kesuksesan hidup seperti yang saya kemukakan diawal.
Saya akan mencoba mengantarkan anda semua ke dalam jalan fikiran saya dengan sebuah ilustrasi sederhana, misalkan dalam sebuah masyarakat ada dua orang yang menjadi fokus kita, pertama orang tersebut adalah seorang direktur utama di sebuah perusaha berskala nasional, waktu hidupnya ia habiskan untuk bergelut dengan dunia bisnis yang memberikan banyak kemewahan bagi hidupnya, dengan posisinya tersebut ia bisa memiliki rumah yang sangat mewah, mobil, gaji yang besar, dll. Dan yang kedua adalah seorang yang sangat bersahaja yang berprofesi sebagai seorang guru di sebuah desa terpencil, dia tidak memiliki rumah, kendaraanya hanya sebuah sepeda butut, dan gajinyapun tidak seberapa (hanya cukup untuk makan). Namun, ia memiliki keinginan yang sangat besar untuk membangun sebuah peradaban dengan mengajarkan anak-anak di desa tersebut ilmu pengaetahuan. Dari ilustrasi tersebut ketika saya bertanya kepada anda semua, kira-kira dari dua orang tersebut mana yang anda sebut sebagai orang ”sukses”?. Kalau saya yakin sebagaian besar masyarakat kita akan menilai bahwa orang pertamalah yang di sebut sebagai orang sukses, karena memang citra orang sukses yang melekat dalam benak sebagaian masyarakat adalah yang seperti itu, sedangkan untuk orang yang kedua adalah orang yang hanya akan mendapatkan rasa iba dan belas kasihan dari masyarakat meskipun ia memiliki dedikasi yang besar terhadap pendidikan, namun itu tidak di nilai sebagai sebuah kesuksesan.
Hal ini lah yang kemudian menjadi permasalahan dan penyakit di masyarakat kita, sebuah penilaian yang sangat sempit akan makna sebuah ”kesuksesan”. Karena saya pikir makna ”sukses” tidak selalu harus di ukur dengan materi, karena satu hal yang lebih penting dari sekedar materi yakni ”dedikasi”, makna inilah yang terkadang diabaikan oleh sebagian besar masyarakat kita, entah apakah ini karena perdaban materialistis yang sudah semakin mengakar kuat di masyarakat atau bagaimana sayapun kurang tahu, tapi yang jelas ini adalah gejala dimana masyarakat sudah semakin di butakan dengan dunia.
Rosulullah dan sahabat-sahabatnya mengajarkan kepada kita bagaimana menghargai seseorang di lihat dari dedikasinya bukan dari materi yang dimilikinya. Misalkan suatu hari rosulullah mengatakan bahwa sebentar lagi akan datang seorang ahli surga, dan tanpa di sangka-sangka seorang ahli surga yang di maksud oleh rosulullah bukanlah seorang pejabat ataupun seorang kaya raya, melainkan seorang anak muda miskin yang telah dengan ikhlas menggendong ibunya dari negeri syam menuju madinah untuk bertemu rosulillah, ini adalah sebuah bukti bahwa rosulullah dalam memandang seseorang lebih di tekankan pada kebaikan apa yang telah ia lakukan bukan apa yang ia punya, meskipun kebaikan tersebut dianggap kecil bagi sebagian orang.
Saya kira kita harus lebih jernih dalam menilai sebuah ”kesuksesan” agar kita tidak terjebak dalam sebuah sudut pandang akan makna ”kesuksesan” yang sempit yakni ”materil”. Karena kalau kita melihat secara jernih makna kesuksesan maka sesungguhnya banyak orang-orang sukses yang ternyata dipandang sebagai orang yang tidak sukses oleh masyarakat karena kehidupanya yang miskin. Guru-guru ngaji di pelosok kampung yang mengajarkan kebaikan kepada masyarakat sekitarnya merupakan orang-orang sukses yang membangun perdaban dengan ilmu agamanya, guru-guru miskin di pedalaman-pedalaman yang mencoba mengajarkan anak-anak suku pedalaman untuk membaca merupakan guru-guru yang sukses dalam hal pendidikan, seorang sukarelawan yang dengan ikhlas mendidikasikan dirinya untuk menolong korban-korban bencana alam merupakan orang yang sukses dalam hal kemanusiaan, masyarakat adat dengan kesederhanaan dan budayanya yang berusaha untuk menjaga kelestarian alam merupakan masyarakat yang sukses dalam menjaga kelestarian alamnya, namun secara umum mereka dipandang sebagai orang-orang yang tidak sukses oleh sebagian besar masyarakat karena kemiskinanya dan ketidakberdayaanya dalam hal ekonomi, padahal kebaikan-kebaikan mereka jauh lebih nyata dari para politisi yang berkoar-koar tentang perjuangan atas nama rakyat namun dalam kenyataanya malah justru semakin menyiksa rakyat dengan kebijakan-kebijakanya. Lantas manakah yang lebih sukses antara politisi dengan orang-orang yang saya sebutkan di awal kalau di lihat dari sisi dedikasi bagi kebaikan dan perbaikan masyarakat?, saya kira kalau otak kita masih waras maka sungguh terlihat jelas mana yang lebih pantas untuk dikatakan sebagai orang sukses.
Dari sinilah kemudian kita perlu membuka mata bahwa ternyata banyak orang-orang sukses di sekitar kita, walaupun secara ekonomi mereka terbatas namun semangat untuk mendedikasikan dirinya bagi perbaikan dan kebaikan masyarakat merupakan sebuah ukuran kesuksesan yang lebih nyata dari pada sekedar ”materi” dan tanpa di sadari juga kita sering menganggap mereka hanya sebagai orang-orang yang perlu mendapatkan rasa iba dan belas kasihan bukan sebagai orang yang perlu mendapatkan penghormatan dan pengahagaan karena kesuksesanya dari sisi dedikasi sosialnya. Kita lebih memilih orang-orang kaya yang egois secara sosial namun secara materi terlihat begitu mengagumkan sebagai orang-orang yang dianggap ”sukses”. Dari pernyataan saya tersebut bukan berarti saya membenci orang kaya dan melarang anda untuk menjadi orang kaya, karena pada dasarnya islam juga mengajarkan kepada ummatnya agar menjadi orang yang kaya. Pernyataan saya tersebut lebih kepada sebuah upaya untuk membuka mata kita semua bahwa sesungguhnya dalam menilai sebuah ”kesuksesan” ukuranya bukanlah di lihat dari ”materi”, tapi lihatlah dari dedikasi atau apa yang telah ia perbuat untuk kebaikan dan perbaikan masyarakat, pundi-pundi amal shaleh sosial itulah yang seharusnya di jadikan sebagai sebuah standart untuk mengukur apakah seseorang itu pantas di katakan ”sukses” atau tidak

Pengembangan Industri Berbasis Local Genius Society

Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Bangsa indonesia di kenal sebagai sebuah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang sangat luar biasa, hal tersebut di karenakan bangsa indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang tentu saja memiliki corak budaya yang berbeda satu sama lain. Kenaekaragaman tersebut sebenarnya merupakan suatu anugerah dan potensi tersendiri bagi bangsa indonesia untuk maju dengan mengedapankan aspek budaya lokal sebagai salah satu icon-nya. Karena pada dasarnya budaya-budaya yang ada dalam bangsa indonesia memiliki kelebihanya masing-masing. Misalkan, di pekalongan sebagian besar masyarakatnya memiliki kemampuan untuk mengerajin batik, hal tersebut mengindikasikan bahwa kota pekalongan memiliki batik sebagai identitas budaya masyarakatnya. Atau misalkan di Tegal, berdasarkan hasil penelitian yang saya lakukan di Tegal sebagian besar masyarakat di suatu kawasan di daerah Tegal memiliki keahlian dalam mengerajin logam, dari situlah kemudian Tegal bisa di kenal sebagai Japan-nya indonesia karena kemampuan masyarakatnya dalam mengerajin logam, hal tersebut juga sekaligus menegaskan bahwa Tegal memiliki sebuah identitas budaya masyarakatnya yakni budaya dalam mengerajin logam. Atau juga di cirebon, dimana sebagaian besar masyarakatnya di suatu wilayah memiliki kemampuan dalam mengerajin rotan, kemampuan itulah yang kemudian menjadi ciri khas atau identitas budaya masyarakat cirebon sebagai salah satu masyarakat yang pandai dalam mengerajin logam. Inilah yang kemudian saya sebut sebagai ”local genius society” yang merupakan salah satu aset budaya yang apabila di kembangkan secara baik maka akan menjadi sebuah potensi bagi pembangunan ekonomi masyarakat sekitar.
Aspek pemberdayaan merupakan sesuatu hal yang paling menonjol ketika kita mampu untuk mengembangkan budaya-budaya masyarakat lokal ini sebagai sebuah industri yang berbasis ”local genius society”. Hal tersebut di karenakan aspek yang pertama kali di sentuh dalam pengembangan industri berbasis local genius society ini adalah aspek ketrampilan masyarakat dalam mengelola sesuatu dan itu berangkat dari budaya mereka sendiri bukan sesuatu hal yang datangnya dari luar sehingga masyarakatpun akan lebih merespon positif terhadap pengembangan industri tersebut. Berbeda ketika pengembangan industri itu di lakukan dalam bentuk investasi oleh pemilik modal, biasanya kalau pengembangan industri dengan model seperti itu yang terjadi adalah masyarakat sekitar hanya akan menjadi bangsa kuli bukan bangsa yang trampil dan mampu untuk berdiri sendiri dengan kemampuan yang di miliki.
Potensi-potensi seperti inilah yang seharusnya menjadi fokus pengembangan industri oleh pemerintah pusat dan daerah, karena dari sinilah kemandirian masyarakat akan terbangun secara perlahan-lahan karena semuanya berangkat dari budaya masyarakat itu sendiri. Hal tersebut juga bisa dijadikan sebagai sebuah solusi bagi pemerintah daerah dalam mengatasi permasalahan kemiskinan dan pengangguran di daerahnya, karena kemampuan dan ketrampilan masyarakat tersebut akan membuka peluang bagi aktivitas ekonomi masyarakat. Tidak seperti kemarin yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan dana BLT yang kalau menurut saya sama sekali tidak memiliki nilai education terhadap masyarakat, malah justru hal tersebut menjadikan masyarakat indonesia sebagai masyarakat yang lemah dan tidak mandiri (bergantung). Kemiskinan itu terlahir karena ketidakmampuan masyarakat untuk merubah nasibnya, nah ketika kita berbicara masalah ketdakmampuan masyarakat berarti yang kita bicarakan adalah masalah rendahnya ketrampilan, ilmu, dan pengetahuan masyarakat bukan masalah uang 300 ribu/ 3 bulan untuk makan, karena itu sama sekali bukan suatu kebijakan yang solutif. Oleh karena itu yang sebenarnya perlu di lakukan adalah menggali ”local genius” dari masyarakat sekitar yang berangkat dari budaya mereka sendiri yang itu bisa di jadikan sebagai potensi untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat sekitar, karena saya yakin setiap daerah pasti memiliki identitas budaya yang khas dan berpotensi secara ekonomi.
Hasil riset saya tentang industri logam di Kabupaten Tegal menunjukan bahwa pembangunan industri yang di dasarkan pada local genius dari masyrakat setempat ternyata dapat menggairahkan aktivitas ekonomi masyarakat sekitar dan memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan industri daerah terutama dalam rangka menjadikanya sebagai salah satu industri yang berdaya saing. Pernyataan saya tersebut di dukung dengan beberapa data temuan saya di lapangan yang di lihat dari beberapa aspek seperti perkembangan jumlah unit usaha, tenaga kerja yang di serap, nilai investasi dan produksi. Dari hasil riset yang saya lakukan semua aspek tersebut ternyata menunjukan tren perkembangan yang terus meningkat. PERTAMA di lihat dari dari perkembangan jumlah unit usaha, pada tahun 2005 terdapat 7 unit usaha berskala menengah dan 7552 unit usaha berskala kecil, di tahun 2006 mengalami peningkatan menjadi 11 unit usaha berskala menengah dan 7620 unit usaha berskala kecil, selanjutnya pada tahun 2007 kembali mengalami peningkatan yakni 13 unit usaha berskala menengah dan 7650 unit usaha bersakala kecil, demikian yang terjadi pada tahun 2008 dimana jumlah unit usaha kembali mengalami peningkatan yakni 13, 81 unit usaha berskala menengah dan 8185, 50 unit usaha berskala kecil. KEDUA di lihat dari aspek tenaga kerja yang di serap, Di tahun 2005 industri logam berskala menengah memiliki sekitar 302 tenaga kerja dan yang berskala kecil memiliki 37.081 tenaga kerja, pada tahun 2006 mengalami peningkatan menjadi 360 tenaga kerja pada industri berskala menengah dan 37.353 tenaga kerja pada industri berskala kecil, selanjutnya pada tahun 2007 kembali mengalami peningkatan yakni 548 tenaga kerja untuk industri berskala menengah dan 38.250 tenaga kerja untuk industri berskala kecil, demikian juga yang terjadi pada tahun 2008 dimana jumlah tenaga kerja kembali mengalami peningkatan yakni 586,36 tenaga kerja untuk industri yang berskala menengah dan 40.927,50 tenaga kerja untuk industri berskala kecil. KETIGA di lhat dari nilai investasi, Pada tahun 2005 nilai investasi untuk unit usaha berskala menengah mencapai 13.028,70 (106) dan untuk unit usaha berskala kecil mencapai 110.006,19 (106), di tahun 2006 mengalami peningkatan menjadi 13.549,84 (106) untuk unit usaha berskala sedang dan 115.989.00 (106) untuk unit usaha berskala kecil, selanjutnya pada tahun 2007 kembali mengalami peningkatan yakni 14.328.50 (106) untuk unit usaha berskala menengah dan 117.006.90 (106) untuk unit usaha berskala kecil, demikian juga yang terjadi pada tahun 2008 dimana nilai investasi dari unit usaha yang ada kembali mengalami peningkatan, yakni 15.331,50 (106) untuk unit usaha berskala menengah dan 125.197,38 (106) untuk unit usaha berskala kecil. KEEMPAT di lihat dari nilai produksi, Pada tahun 2005 nilai produksi untuk unit usaha berskala menengah mencapai 15.680.13 (106) dan untuk unit usaha berskala menengah nilai produksinya mencapai 128.789.00 (106), di tahun 2006 mengalami peningkatan nilai produksi yakni 16.307.34 (106) untuk unit usaha berskala menengah dan 135.229.00 (106) untuk unit usaha berskala kecil, selanjutnya pada tahun 2007 kembali mengalami peningkatan nilai produksi yakni, 17.205.25 (106) untuk unit usaha berskala menengah dan 140.667.00 (106) untuk unit usaha berskala kecil, demikian juga yang terjadi pada tahun 2008 yang kembali mengalami peningkatan nilai produksi yakni 18.409,62 (106) untuk unit usaha berskala menengah dan 150.513,69 (106) untuk unit usaha berskala kecil. (sumber: Disperindag Kabupaten Tegal Tahun 2006-2008).
Data-data diatas menunjukan bahwa ketika potensi budaya masyarakat di suatu daerah, dalam hal ini adalah budaya masyarakat Tegal dalam mengerajin logam mendapatkan perhatian dan dukungan yang serius dari pemerintah daerah maka hal tersebut akan bisa di jadikan sebagai salah satu aset budaya sekaligus aset ekonomi bagi pembangunan daerah yang berangkat dari budaya masyarakat setempat. Selama ini pemerintah daerah Kabupaten Tegal juga memberikan dukungan yang luar biasa besar terhadap pengembangan industri logam, hal ini di dasari dari kesadaran pemerintah daerah yang dapat melihat dengan jeli potensi yang ada dalam masyarakat Tegal. Bentuk-bentuk dukungan tersebut antara lain dalam penyediaan sarana dan prasarana guna mendukung aktivitas produksi dan pemasaran dengan di dirikanya UPTD LIK (lingkungan industri dan UPTD Laboratorium Uji Material Dan Machine Shop, UPTD-UPTD tersebut menyediakan berbagai fasilitas yang di butuhkan IKM semisal peralatan-peralatan modern dengan harga mahal yang tidak bisa di jangkau oleh IKM namun sangat di butuhkan oleh IKM, klinik-klinik konsultasi seperti konsultasi bisnis dan Haki, fasilitas pemasaran seperti showroom dan market centre. Selain dukungan dalam bentuk fasilitas pemerintah daerah juga selalu berusaha berperan aktif dalam melakukan berbagai kegiatan dalam rangka pengembangan industri logam tersebut seperti mengadakan pelatihan atau mengirimkan IKM logam untuk mengikuti pelatihan, bersama-sama dengan IKM melakukan riset market untuk menemukan pasar yang berkualitas yang dapat mendukung perkembangan industri logam, dan juga membentuk kelompok-kelompok usaha bersama seperti KUB (kelompok usaha bersama) dan SIM (Supporting Industri Manufacture) sebagai sebuah upaya untuk mensinergiskan bisnis antar pelaku usaha.
Mudah-mudahan hasil penelitian saya tersebut bisa dijadikan sebagai bahan referensi bagi pemerintah khususnya pemerintah di daerah untuk mencoba mengembangkan dengan serius setiap budaya masyarakat yang memiliki potensi untuk di jadikan sebagai sebuah industri daerah. Karena seperti yang saya kemukakan di awal bahwa hal tersebut akan benar-benar mampu untuk menggairahkan aktivitas ekonomi masyarakat dan memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan industri daerah terutama dalam rangka menjadikanya sebagai salah satu industri yang berdaya saing.

12-08-09 Pukul 22.00 WIB; Ekspresi Kemerdekaan dari Sudut Kampoeng GRENDENG….

Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Malam itu dengan rasa kantuk yang menggelayuti mata, saya pergi keluar kostn untuk sekedar mencari minuman sebagai pengusir rasa kantuk karena memang pada malam itu saya sedang lembur untuk menyelesaikan hasil skripsi, jadi walaupun sudah ngantuk tapi saya harus tetap paksakan untuk melek. Ya begitulah nasib orang yang sedang nggarap skripsi.., gerutu saya dalam hati. Namun, seketika saya terkejut menyaksikan suasana malam di luar kostn, karena memang suasana malam hari ini terasa sangat berbeda dari hari biasanya, suasananya terlihat sangat ramai dengan banyaknya orang-orang yang sedang berkumpul, padahal pada saat itu waktu sudah menunjukan pukul 22.00 WIB, yang biasanya masyarakat sekitar sudah pada tertidur lelap. Selidik punya selidik setelah saya bertanya dengan salah seorang masyarakat disitu, ternyata malam itu warga sekitar sedang mempersiapkan diri untuk menyambut hari kemerdekaan RI pada tanggal 17 agutus nanti. Wah luar biasa ya.., pedahal kan tanggal 17nya masih 1 mingguan lagi tapi udah rame kayak gini, gimana nanti pas hari-H nya. Tiba-tiba sdikit rasa malu menghampiri perasaanQu soalnya kalau di kampoengQu perayaan hari kemerdekaan itu nggak serame disini, malahan dulu pernah nggak ada perayaan spesial sama sekali, cuman pasang=pasang bendera aja. He..he.., gimana iki pak RT, masa 17 agustusan sepi kegiatan mulu.
Melihat suasana yang ramai kayak gitu, akhirnya saya memutuskan untuk menikmatinya dulu sebentar sebelum balik ke kamar kost dan mulai di sibukan dengan skripsi yang semakin lama semakin menjenuhkan. Dari kegelapan terlihat ibu-ibu yang sedang latihan gerak jalan dengan penuh semangat walaupun dari beberapa ibu-ibu tersebut terlihat menahan hawa dingin yang menusuk kulit dengan memakai jaket tebal. Suasana semakin meriah karena latihan gerak jalan ibu-ibu tersebut di iringi alunan musik kentongan (musik tradisional banyumas) yang dimainkan oleh bapak-bapaknya, namun ada yang berbeda dengan musik kentongan kali ini, karena alat musiknya bukan hanya pakai kentong saja tapi juga ada yang pakai ember, panci sehingga alunan nada yang di hasilkanpun tersa begitu ramai terdengar di telinga. Sementara bapak dan ibunya lagi berlatih kentongan dan gerak jalan, anak-anak kecilnya juga nggak mau kalah, mereka menambah hangat suasana malam itu dengan berjoged-joged sesuai dengan irama yang di hasilkan oleh alat musik kentongan tersebut. Weleh-weleh makin mantep aja nie pertunujukan gratis yang aku saksikan malam ini, puji saya dalam hati.
Saya pikir apa yang aku saksikan malam hari ini adalah sebuah ekspresi kemerdekaan dan kecintaan dari sebagian masyarakat grendeng terhadap indonesia, sebuah ekspresi yang tulus dengan harapan agar indonesia kedepan bisa lebih baik. Mereka adalah masyarakat yang cinta terhadap negerinya, walaupun secara pribadi hidup mereka belum meredeka sepenuhnya, mereka belum merdeka secara ekonomi, pendidikan, pekerjaan, dll karena saya sendiri masih menyaksikan dengan mata dan hati saya sendiri mereka masih harus tetap berjibaku dengan kehidupan yang semakin sulit dan keras, sulit karena harga semabako yang terus naik, sulit karena biaya pendidikan yang mahal, dan sulit karena susahnya mendapat pekerjaan yang layak. Saya kira ini adalah pesan bagi para penguasa di negeri ini bahwa betapa besar kecintaan mereka terhadap indonesia, dan sudah saatnyalah mereka (rakyat indonesia) di berikan kesejahteraan yang layak agar mereka juga bisa merasakan dan merayakan kemerdekaan indonesia dengan senyatanya, bukan sebuah kemerdekaan yang palsu yang di bungkus dengan pesta-pesta rakyat tersebut. Sudah terlalu lama rakyat indonesia menunggu kehidupan yang damai dan sejahtera ditengah penderitaan yang terus mendera mereka, kemerdekaan indonesia dan kesejahteraan rakyat adalah hal yang mutlak untuk di wujudkan, bukan dalam kata-kata tapi juga dalam kenyataan dan mudah-mudahan itu akan terwujud di usia indonesia yang sudah menginjak angka 64.

Tulisan ini saya buat sebagai refleksi kemerdekaan yang diangkat dari sebuah kisah yang sederhana namun kaya akan makna.

AKSI DEMONASTRASI MAHASISWA UNSOED; SEJARAH ITU TERULANG KEMBALI...

Oleh: Fahmi Fatkhurpzi

Hari ini, rekan-rekan mahasiswa unsoed yang tergabung dalam aliansi BEM se-Unsoed kembali turun ke jalan untuk melakukan Aksi demonstrasi memprotes salah satu bentuk komersialisasi pendidikan yang di lakukan oleh pihak kampus yakni BOPP. Aksi demonstrasi tersebut berlangsung ditengah pelaksanaan registrasi calon mahasiswa baru UNSOED sehingga suasanapun terlihat menjadi lebih ramai walaupun yang ikut aksi demonstrasi cuman beberapa orang saja. Militansi dari rekan-rekan mahasiswa terlihat jelas ketika berusaha untuk mendesak rektor UNSOED agar turun dari persinggahanya untuk menemui dan berdialog dengan mahasiswa, namun ternyata dari pihak rektorat malah justru menyatakan bahwa rektor tidak bisa menemui mahasiswa karena ada rapat. Kondisi tersebut memancing kemarahan dari mahasiswa karena memang kejadian tersebut bukan hanya terjadi pada saat aksi demonstrasi hari ini saja, namun di semua aksi yang pernah terjadi di Unsoed, rektor selalu tidak mau menemui mahasiswanya. Akhirnya aksi dorong-mendorong dengan keamanan kampuspun tidak bisa terelakan, Suasana semakin memanas karena ternyata dari pihak kemanan kampuspun banyak yang tidak bisa mengendalikan emosinya dengan baik sehingga beberapa mahasiswa banyak yang terjatuh karena dorongan dari keamanan kampus. Suasana mulai mereda ketika mahasiswa mulai menurunkan tempo gerakanya, dan akhirnya karena menyadari apa yang di inginkan telah menemui jalan buntu, rekan-rekan mahasiswa memilih untuk melakukan aksi simbolik dengan membakar poster-poster yang dibawa dan melepaskan almamater mereka sebagai sebuah simbol penolakan komersialisasi pendidikan di kampus UNSOED.
Kondisi yang terjadi hari ini mengingatkan saya dengan beberapa perjuangan yang sudah di lakukan oleh rekan-rekan mahasiswa di UNSOED sebelumnya, semuanya hampir berakhir seperti itu, cuman aktornya saja yang berubah. Sejarah perjuangan mahasiswa di UNSOED belum pernah mencatat kemenangan mahasiswa dalam menghadapi kedigdayaan pihak birokrasi kampus. Rektor selalu tidak mau menemui mahasiswa dan mahasiswapun selalu pulang dengan tangan kosong, hal seperti itulah yang selalu menejadi akhir dari cerita aksi demonstrasi mahasiswa di UNSOED. Namun saya kira ini bukanlah merupakan sebuah kegagalan bagi gerakan mahasiswa malah justru hal ini adalah momentum untuk kembali membangkitkan gerakan mahasiswa UNSOED yang telah lama tertidur. selain itu, kejadian hari ini juga paling tidak bisa membuka mata kita semua bahwa ternyata birokrasi kampus di UNSOED sangat susah untuk di sentuh, jangankan untuk di sentuh untuk di dekati saja terasa sangat sulit.

DI UJUNG PENANTIAN....; Sebuah Persembahan Untuk Anak-anak AN Angkatan 2005

Masa Depan Kita Di Mulai Hari ini, Bukan Besok....
(Fahmi Fatkhurozi)

Sesungguhnya setiap orang ber hak atas sebuah kesuksesan hidup, karena memang pada dasarnya semua orang memiliki kesempatan untuk menjadi sukses. Namun, perlu di sadari oleh kita semua bahwa proses untuk mencapai sebuah kesuksesan hidup adalah Big Competition (kompetisi besar) yang mengikutsertakan banyak orang dan hanya orang-orang yang mau berusaha secara sungguh-sungguh dan berjiwa optimis yang akan mampu meraih kesuksesan hidup tersebut, bukan para pemalas yang hanya bermimpi ingin menjadi sukses tapi tidak di sertai dengan usaha yang sungguh-sungguh.
Bagi orang-orang yang menginginkan kesuksesan maka waktu bagi dia adalah sangat berharga, mungkin mereka memaknai waktu seperti yang di katakan oleh Ali Bin Abi Tholib bahwa ”waktu adalah pedang”, sehingga kita harus lihai dalam memainkanya, karena kalau tidak justru kita yang akan terluka karenanya. Sayid Quthb juga mengatakan bahwa kebiasaan para pahlawan/pemenang adalah mereka yang berfikir lebih cepat daripada orang biasa, bekerja sebelum orang lain bekerja, beraktivitas lama daripada orang biasa, mengurangi jam-jam santainya, menyedikitkan waktu tidurnya, dan memberdayakan semuanya karena bagi seorang pahlawan/pemenang hidup adalah rangkaian dari prestasi ke prestasi untuk meraih kesuksesan hidup. Begitulah cara pandang orang-orang sukses dalam memaknai waktu hidupnya, apakah kita termasuk di dalamnya?, saya kira hanya kita sendiri yang bisa mengukurnya sejauhmana kita mampu mengoptimalkan waktu yang kita miliki untuk merangkai serpihan-serpihan kesuksesan tersebut menjadi sebuah kesuksesan yang sempurna.
Kawan-kawan AN 05 kita telah melalui kehidupan di kampus ini dengan sejuta cerita, banyak sejarah yang sudah kita torehkan bersama dengan senyum dan air mata, dengan semangat dan rasa cinta, dan dengan kebersamaan dan kerjsama, semua itu adalah prestasi tersendiri bagi kita sebagai mahasiswa administrasi negara angkatan 2005. Namun, batas waktu kita di kampus ini semakin terbatas kawan, proses hidup kita di kampus sudah hampir selesai, dan kehidupan baru yang lebih riil juga sudah mulai nampak di depan mata, impian-impian kita sudah semakin dekat, dan sudah saatnyalah kita bergegas dengan semangat yang utuh untuk mulai menata langkah-langkah tersebut dengan sungguh-sungguh agar kelak kita bisa tersenyum dengan prestasi yang kita torehkan. Saya yakin kita semua adalah calon orang-orang sukses yang akan memberikan sentuhan warna bagi kehidupan kita sendiri dan juga kehidupan masyarakat dengan kemampuan yang kita miliki masing-masing. Keluarga kita, masyarakat, dan bangsa ini sudah menanti kehadiran kita dengan penuh harapan, sebuah harapan yang tentunya lebih baik dari hari ini dan kita adalah orang-orang yang akan membawa perubahan tersebut kawan.
Terakhir, mudah-mudahan hari esok kita akan kembali bertemu dengan kesuksesan-kesuksesan hidup yang sudah melekat dalam diri kita, dan mudah-mudahan sejarah yang sudah kita torehkan bersama tidak hanya menjadi cerita-cerita tanpa makna, namun lebih dari itu sejarah yang sudah kita torehkan bersama tersebut akan menjadi perekat tali persaudaraan kita, karena kita adalah satu keluarga yang terlahir dari sejarah yang sama.

Tulisan ini saya persembahkan untuk mahasiswa Administrasi Negara FISIP UNSOED Angkatan 2005 yang sekarang ini lagi pada sibuk ngurusin skripsi, mudah-mudahan skripsinya lancar semua....

DEMOKRASI PROLETAR KHAS ANGKRINGAN

Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Sederhana dan merakyat, itulah kesan pertama yang akan kita dapatkan ketika kita memasuki tempat yang bernama angkringan. Hal tersebut dapat tercermin dari tampilan luar tempat tersebut yang memang sangat sederhana, gerobag kayu, kursi kayu, lantai tanah, jajanan rakyat, dengan di terangi lampu remang-remang seakan menegaskan kesan kesederhanaan dan merakyat yang saya maksudkan.
Kesederhanaan ala rakyat kecil memang telah menjadi ciri khas dan identitas tempat nongkrong dan makan yang berasal dari klaten ini. Sebenarnya tampilan angkringan/warung HIKS dulu tidak seperti yang sekarang, karena kalau dulu yang namanya angkringan/warung HIKS itu di jajakan dari rumah ke rumah dan dari kampung ke kampung dengan membawa lampu templok yang membawa suasana remang-remang yang khas, namun seiring dengan perkembangan jaman kini tampilan angkringan/warung HIKS telah mengalami banyak perubahan, dari yang tadinya di jajakan dari rumah ke rumah menjadi menetap di suatu lokasi tertentu. Namun terlepas dari perubahan itu semua, satu hal yang tidak berubah dari warung makan angkringan atau kalau di jogja dan solo lebih di kenal dengan warung HIKS adalah budaya berdiskusi dan berdemokrasi ala rakyat proletar yang menjadi pelanggan tempat tersebut, karena memang dari dulu sampai sekarang angkringan atau warung HIKS menjadi salah satu media bagi rakyat kecil untuk bertukar pikiran atau juga membicarakan tentang keadaan sosial bahkan politik.
Suasana yang sama juga akan kita dapatkan di angkringan purwokerto, kalau anda tidak percaya, cobalah anda berkunjung sendiri, saya jamin anda pasti akan di suguhkan dengan budaya berdemokrasi yang khas dan unik yang di tampilkan oleh para proletar dan juga mahasiswa, mereka semua terlihat sangat menikmati suasana, makanan, minuman dan obrolan mereka tentang banyak hal, dari mulai tentang kampus sampai dengan permasalahan-permasalahan sosial-politik bangsa ini. Kalau anda mau mendapatkan pertunjukan yang lebih seru dan menarik, maka cobalah anda untuk lebih lama di tempat tersebut sampai larut malam karena memang suasana akan semakin hangat ketika malam sudah semakin larut, karena semakin malam semakin banyak para aktivis yang berdatangan untuk sekedar nongkrong, ngobrol atau juga menghabiskan malam dengan sisa-sisa energi yang dimiliki.
Bagi saya angkringan memang telah menjadi salah satu budaya bagi masyarakat, sebuah budaya yang mengajarkan kesederhanaan, kebersamaan, dan sikap kritis terhadap keadaan sosial-politik yang terjadi di negeri ini. Atau dengan kata lain, angkringan adalah rumah demokrasi bagi rakyat kecil yang ingin menyampaikan ide, gagasan, dan kritikan-kritikan atas permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam sebuah ruang diskusi publik ala proletar. Dan ini tentu saja merupakan sebuah media yang sangat bagus dan efektif sebagai sebuah upaya pembangunan masyarakat yang cerdas dan kritis terhadap segala permasalahan sosial-politik yang terjadi di negeri ini.

SAMPAH

Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Hari ini saya dimintai tolong untuk mengantarkan temen yang mau ujian di Fakultas Ekonomi (Ekstensi), seperti biasa jalan kampus terlihat lengang dihari minggu dan uadarpun terasa lebih sejuk dari biasanya karena mungkin jumlah kendaraan yang melintas jauh lebih sedikit dari hari biasanya. Namun, setelah saya memasuki jalan HR.Boenyamin ada sedikit pemandangan yang mengganggu mata saya. Ya, pemandangan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah ceceran sampah yang hampir menghiasi setiap sudut jalan. Sangat disayangkan memang keindahan pagi di kota purwokerto harus dicemari oleh tumpukan sampah dari orang-orang yang kurang bertanggungjawab terhadap lingkungan. Ironisnya ceceran sampah-sampah tersebut merupakan peninggalan aktivitas para mahasiswa yang menghabiskan malam akhir pekanya. Kenapa saya katakan ironis, karena mahasiswa merupakan orang yang harusnya lebih memiliki kesadaran terhadap kebersihan lingkungan, mahasiswa dididik dan dibesarkan dalam lingkungan yang mengajarkan etika dan tata nilai kehidupan sosial yang lebih baik dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya, karena itulah mereka disebut sebagai kaum intelektual (kaum yang berfikir), berfikir akan apa yang dia lakukan?, baik atau tidak?, bermanfaat atau tidak bermanfaat?, atau dengan kata lain mahasiswa harusnya menjadi orang yang lebih bijak dalam perbuatanya, termasuk perbuatan terhadap lingkunganya. namun entah kenapa mahasiswa seakan menjadi orang-orang yang melupakan akan hal itu, intelektualitas mereka seakan tersumbat oleh egonya yang sedang mencari sebuah kepuasan tanpa diimbangi dengan sikap yang bertanggung jawab atas perbuataanya tersebut.
Mungkin ada yang mengatakan, hal tersebut adalah permasalahan yang sepele yang tidak penting untuk diperdebatkan. Lebih penting membahas masalah ekonomi, hukum, politik biar terlihat lebih intelek. Namun tidak bagi saya, karena kalau mengutip kata-kata bijak bahwa sesuatu hal yang besar selalu dimulai dari hal-hal yang terkecil. Misal, seorang manusia bisa berjalan dan berlari berawal dari tengkurep, berangkang, berdiri, berjalan dan baru berlari, tidak mungkin manusia dilahirkan langsung bisa berlari. Demikian juga dengan permasalahan sampah ini, sesuatu hal yang dianggap kecil ini ternyata belum mampu untuk disikapi secara bijak oleh para mahasiswa, apalagi kalau misalkan mahasiswa tersebut dihadapkan pada sebuah masalah yang lebih besar?, apakah mungkin mahasiswa tersebut bisa bertanggung jawab, toh untuk urusan yang kecil saja mereka belum mampu untuk bertanggungjawab. Inilah yang kemudian perlu kita pertanyakan. Potret buram dari para intelektual yang hidup dilingkungan akademis, tapi ternyata tingkat kesadaran dan sikap tanggung jawab terhadap lingkunganya jauh lebih rendah dibandingkan dengan petugas kebersihan kampus yang setiap pagi selalu membersihkan sampah-sampah yang berserakan. Sebuah evaluasi bagi kita semua, bahwa sesuatu hal yang besar selalu dimulai dari hal-hal yang kecil. Sebelum kita berbicara tentang hal-hal yang besar seperti kondisi ekonomi, politik, hukum, dll dinegeri ini, cobalah kita bertanya apakah kita sudah bertanggung jawab terhadap diri kita?, apakah kita sudah bertanggung jawab terhadap lingkungan kita?, apakah kita sudah membuang sampah pada tempatnya?, kalau belum mari kita memulainya. kecil memang, tapi paling tidak itu jauh lebih riil dan bermanfaat bagi lingkungan dan banyak orang…..”KALAU ITU MUDAH KENAPA TIDAK DILAKUKAN”. SELAMAT MENCOBA….

SD & SMP Gratis, SMA Semakin Tak Terjangkau Dan Bangku Kuliah hanya Sebatas Mimpi..?

Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Biar bapaknya sopir angkot anaknya bisa jadi pilot…
Biar bapaknya loper Koran anaknya bisa jadi wartawan…

Akhir-akhir ini mata dan telinga kita sering dimanjakan dengan layanan iklan dari dinas pendidikan nasional yang sedang mensosialisasikan salah satu program unggulanya yakni program sekolah gratis. Hampir setiap hari layanan iklan tersebut diputar di berbagai stasiun TV, sampai-sampai semua kata-kata yang menjadi jargon dari program tersebut terasa sudah hafal di luar kepala kita. Iklan layanan tersebut juga mengambil icon ibu muslimah dalam film laskar pelangi untuk semakin memperkuat citra dan menciptakan daya tarik tersendiri bagi masyarakat akan program tersebut. Salah satu slogan dari iklan tersebut adalah “biar bapaknya sopir angkot anaknya bisa jadi pilot dan biar bapaknya jadi loper koran anaknya bisa jadi wartawan, yang terpenting ada kemauan?”. Ya, sebuah slogan yang memberikan harapan bagi masyarakat untuk bisa merubah nasibnya lewat jalur pendidikan formal. Namun apakah benar semudah itu seorang bapak bisa menjadikan anaknya menjadi seorang pilot, wartawan, dokter, dll?, apakah benar negeri ini telah memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap pendidikan anak-anak bangsa yang punya mimpi dan cita-cita?, ataukah itu hanya sebatas jargon yang memberikan mimpi-mimpi palsu bagi masyarakat kita??.
Sebenarnya, saya menyambut baik dengan program sekolah gratis yang dikeluarkan pemerintah tersebut, artinya mulai ada kepedulian yang serius yang ditunjukan oleh pemerintah terhadap dunia pendidikan kita, namun ketika kita coba memotret realitas pendidikan itu secara komprehensif tanpa memisahkan antara SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi maka saya kira pendidikan di negeri ini masih terasa begitu menyulitkan bagi masyarakat Indonesia secara luas, khususnya masyarakat miskin atau dengan kata lain masih terjadi diskriminasi dan ketidakadilan akses pendidikan terhadap masyarakat miskin. Kenapa saya katakan demikian?, mari kita coba lihat realitas pendidikan di negeri ini secara lebih luas lagi. Mungkin merupakan sebuah prestasi bagi pemerintah karena telah menelurkan program sekolah gratis untuk SD dan SMP, namun bagaimana dengan SMA/SMK dan Perguruan Tinggi?, apakah masih bisa dijangkau oleh masyarakat?, atau jangan-jangan malah semakin jauh dari mimpi-mimpi anak-anak di negeri ini?.
Di negeri Indonesia ini untuk masuk SMA/SMK ternyata masih membutuhkan biaya yang sangat tinggi, bahkan cenderung mengalami kenaikan setiap tahunya. Ambilah contoh biaya sekolah SMA/SMK di Kota Tegal, di SMA 1 Kota Tegal yang merupakan salah satu SMA favorit SPPnya mencapai Rp.175.000/bulan bahkan untuk uang masuknya (uang pangkal) mencapai 1-2 juta’an, tidak jauh beda dengan SMA N 1, Di SMA N 2 Kota Tegal biaya SPPnya juga mencapai 100.000/bulan, demikian juga dengan SMA lainya. Saya kira itu merupakan angka yang cukup fantastis bagi seorang abang tukang becak yang penghasilan tidak menentu, atau juga bagi para buruh yang pengahasilanya hanya cukup untuk makan, bahkan itu juga terkadang masih harus ngutang kanan-kiri. tidak jauh beda dengan realitas di SMA, diperguruan tinggipun kita akan mendapati hal yang serupa bahkan lebih parah dari itu. Dengan diterapkanya UU BHP (badan hukum pendidikan) maka seluruh perguruan tinggi negeri (PTN) di negeri ini tidak lagi mendapatkan subsidi dari pemerintah atau dengan kata lain telah terjadi privatisasi terhadap pendidikan. Pendidikan tidak lagi dimaknai sebagai barang public dimana pemerintah sebagai penenggungjawab utamanya, tapi pendidikan dimaknai sebagai sebuah komoditas yang diperjualbelikan. Hal tersebut tentu saja berdampak pada semakin tingginya biaya pendidikan di perguruan tinggi karena secara otomatis pihak perguruan tinggi akan berusaha mencari post-post dana potensial untuk menggantikan post dana yang telah dicabut oleh pemerintah. Dan post dana yang dianggap potensial dan paling mudah untuk didapat adalah post dana dari mahasiswa. Hal tersebut telah terjadi diberbagai Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia. Ambilah contoh di universitas tempat saya menuntut ilmu yakni Universitas Jenderal Soedirman yang telah bermetamorfosis dari PTN menjadi Badan Hukum Pendidikan. Dulu Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) dikenal sebagai salah satu universitas termurah di dunia, dimana biaya SPP untuk persmesternya hanya sekitar Rp. 250.000/smester sebuah angka yang saya kira masih terjangkau. Namun saya tegaskan kembali itu dulu, ketika sang penguasa kampus masih memaknai filosofi kehidupan sang jenderal soedirman yang naik kuda, namun sekarang ini sang penguasa kampus mungkin sudah mulai bosan melihat sang jenderal soedirman naik kuda terus sehingga sang penguasa kampus menginginkan sang jenderal soedirman agar bisa naik mobil. Untuk itulah kemudian sang penguasa kampus mulai melakukan praktik-praktik komersialisasi terhadap pendidikan di kampus sang jenderal soedirman ini. Dampaknya sungguh fantastis, ditahun 2009 ini biaya pendidikan di Unsoed naik berlipat ganda dari 250.000/smester di tahun 2003 menjadi Rp.1.850.000/smester . belum lagi dengan uang sumbangan yang sekarang ini diberi label BOPP yang angkanya mencapai 3-30 juta’an, bahkan di fakultas kedokteran bisa mencapai 100 juta keatas (baca: brosur UNSOED). Sebuah angka yang saya kira teramat berat bahkan bisa dikatakan mustahil bagi anak-anak tukang becak, buruh, nelayan, petani, pemulung, dan kaum miskin lainya. lantas apakah ini yang kemudian di inginkan oleh pemerintah?, dimana anak-anak bangsanya hanya bisa mencicipi pendidikan sampai batas SMP saja karena untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi terasa begitu sulit, karena masalah biaya. Bukankah untuk menjadi pilot, wartawan, dokter, dosen, dll itu tidak cukup hanya mengenyam pendidikan sampai SMP?, bukankah kalau seperti itu sebenarnya pemerintah tidak memiliki keinginan untuk mengantarkan anak-anak bangsa di negeri ini untuk mewujudkan impian dan cita-citanya?, bukankah pendidikan SD dan SMP hanya akan menegantarkan mereka sebagai pewaris dari profesi ayahnya, sehingga slogan yang tepat adalah “bapaknya sopir ya anaknya juga besok jadi sopir dan bapaknya loper koran ya anaknya juga besok jadi loper koran, karena kemauan itu terhalang oleh biaya”, sepakatkah anda?
Relitas tersebut memberikan isyarat kepada kita bahwa sebenarnya belum ada kesadaran penuh dari pemerintah dalam meweujudkan salah satu cita-cita Negara kita, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan di negeri ini saya nilai masih sangat parsial dan bersifat kontradiktif, di satu sisi pemerintah berusaha membebaskan biaya pendidikan untuk SD dan SMP tapi disisi yang lain pemerintah malah justru melepaskan tanggungjawabnya terhadap pendidikan tinggi. Lantas sebenarnya apa yang menjadi tujuan dari kebijakan-kebijakan tersebut?.
Dalam pandangan saya pemaknaan terhadap pendidikan haruslah bersifat komprehensif dan holistic, pernyataan saya tersebut memiliki arti bahwa pemerintah harus memaknai semua jenjang pendidikan formal sebagai sesuatu hal yang penting dalam upaya mencerdasakan kehidupan bangsa sehingga pemerintah juga harus berusaha untuk membuka akses pendidikan seluas-luasnya kepada masyarakat tanpa adanya diskriminasi, baik itu SD, SMP, SMA maupun PT. ketika hal tersebut sudah mampu diwujudkan oleh pemerintah barulah kemudian saya mengatakan bahwa pemerintah telah memiliki komitmen yang serius terhadap dunia pendidikan dan saya kira anak-anak bangsa di negeri ini juga akan semakin bersemangat dalam mngejar mimpi dan cita-citanya dan terakhir saya yakin bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar dan bermartabat ketika hal tersebut mampu untuk diwujudkan.

Penulis Adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Angkatan 2005.

Untuk Gerakan Mahasiswa UNSOED

Untuk Gerakan Mahasiswa UNSOED
Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Rasanya kita harus membuang kata “demokrasi” sejauh-jauhnya dari Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), karena memang pada prinsipnya hal tersebut tidak pernah terjadi dan sulit untuk diwujudkan di kampus yang dikenal dengan kampus rakyat ini. Perjalanan panjang pergerakan mahasiswa UNSOED yang berusaha untuk mewujudkan demokratisasi kampus selalu mendapatkan perlawanan yang tidak seimbang dari para birokrat kampus yang memiliki kekuasaan dan kewenangan, sementara mahasiswa hanya mengandalkan gerakan masa dan gerakan sosial.
Pengkebiran terhadap hak-hak mahasiswa merupakan sebuah pencideraan terhadap makna dari “demokrasi” itu sendiri, sehingga tepat rasanya ketika saya mengatakan Unsoed merupakan kampus yang tidak demokratis, karena dalam kenyataanya masih banyak terjadi pengkebiran terhadap hak-hak mahasiswa. Misalnya, munculnya berbagai kebijakan tanpa adanya pelibatan terhadap mahasiswa, seperti kebijakan merger fakultas, kebijakan BHP, kebijakan SPI, kebijakan POM, sampai yang terbaru adalah kebijakan BOPP. Hal tersebut tentu saja menjadi sebuah indikasi bahwa tidak ada itikad baik dari pihak birokrasi kampus dari kebijakan yang akan mereka keluarkan, karena ketika kebijakan itu baik untuk semua, saya kira tidak perlu ada ketakutan untuk melibatkan mahasiswa dalam perumusan kebijakan. Paling tidak aspirasi mahasiswa masih diberikan tempat, bukan dipinggirkan dan diasingkan sehingga mahasiswa seakan hanya menjadi sasaran dari kebijakan saja, tanpa memiliki hak sedikitpun.
Di tataran mahasiswa, trend pergerakan yang dilakukan oleh mahasiswa selama ini saya kira juga tidak tepat, karena kalau kita perhatikan pergerakan mahasiswa terlihat tidak memiliki arah dan orientasi yang jelas, sehingga pergerakan mahasiswa hanya terombang-ambing oleh berbagai macam issue yang muncul, tanpa disertai sikap yang tegas. Misalkan ketika muncul issue POM mahasiswa secara reaksioner berbondong-bondong untuk memprotes kebijakan tersebut, lalu muncul kebijakan lain semisal BHP maka dengan sendirinya mahasiswapun mengalihkan perhatianya kepada kebijakan BHP, dan seperti itu terus yang terjadi ketika ada kebijakan baru maka fokusnya akan beralih, beralih, beralih dan beralih. Kenyataan tersebut seakan memberikan sebuah penegasan bahwa gerakan mahasiswa memang tidak memiliki orientasi jelas sehingga mudah untuk diombang-ambingkan. Misalkan ketika saya menanyakan kepada rekan-rekan di BEM FISIP pada saat acara pembekalan kabinet BEM yang baru, apa sebenarnya yang menjadi tujuan dari gerakan mahasiswa?, jawabanyapun beragam dan kebanyakan jawabanyapun berkisar seputar issue bukan visi perjuangan dari gerakan mahasiswa itu sendiri. Hal tersebut tentu saja merupakan sinyal bahaya bagi gerakan mahasiswa yang telah kehilangan ruh perjuanganya, mahasiswa bergerak hanya karena sebuah reaksi tanpa disertai dasar yang kuat. Model gerakan seperti akan sangat mudah untuk dihancurkan, karena person/pelaku yang mengusung perjuangan itu sendiri pada dasarnya tidak paham apa yang dia lakukan.
Gerakan mahasiswa jangan sampai kehilangan oroientasi karena adanya issue, gerakan mahasiswa harus memiliki pijakan yang jelas yakni sebuah pijakan yang bersifat general yang dijadikan dasar dari apa yang akan mahasiswa lakukan, karena gerakan mahasiswa bukan untuk tujuan yang sesaat tapi untuk tujuan yang bersifat jangka panjang. Gerakan mahasiswa bukan hanya untuk memprotes kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak birokrat, tapi pada hakekatnya gerakan mahasiswa adalah untuk menuntut “demokratisasi kampus”, dimana mahasiswa harus mendapatkan tempat dalam proses pengambilan kebijakan. Ketika mahasiswa dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan, saya kira kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak terhadap mahasiswa akan bisa diminimalisir karena aspirasi dari mahasiswa bisa didengar sebelum kebijakan itu dikeluarkan. Kalau yang terjadi sekarang kan mahasiswa menyuarakan aspirasinya setelah kebijakan itu dikeluarkan sehingga langkah-langkah yang dilakukan oleh mahasiswa untuk memprotes kebijakan tersebut akan terasa sulit.

OSPEK Dan Dagelan POLITIK MAHASISWA

OSPEK dan Dagelan POLITIK Mahasiswa
Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Kata orang bijak “pengalaman adalah guru yang paling baik buat kita”, dan secara pribadi saya sepakat dengan ungkapan tersebut. Pengalaman merupakan serangkaian kegiatan/aktivitas yang sudah pernah kita lakukan di dalam perjalanan hidup kita sehingga dari pengalaman tersebut kita bisa mengetahui kekurangan dan kelebihan dari apa yang sudah pernah kita lakukan sebelumnya. Pengalaman membuat kita jauh lebih bijaksana dan dewasa dalam menyikapi hidup dan kehidupan karena pengalaman telah membuka mata kita untuk melihat lebih jeli sebuah realitas. Ada banyak pertimbangan bagi orang-orang yang sudah berpengalaman dalam mengambil sebuah keputusan dalam hidupnya atau juga dalam menyikapi sebuah realitas yang dia lihat, dengar dan rasakan.
Tulisan saya ini merupakan salah bentuk dari sekumpulan pengalaman hidup saya di kampus yang ingin saya sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa yanng sekarang memegang tongkat estafet perjuangan kampus, karena menurut saya ada banyak pelajaran dan nilai yang dapat diambil dari apa yang akan saya tuliskan disini.
Salah satu pengalaman hidup saya dikampus yang ingin saya ungkap disini adalah tentang OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus). Ospek merupakan salah satu hajatan akbar bagi kampus FISIP UNSOED yang memiliki pesona dan daya tarik tersendiri bagi kalangan mahasiswa, baik itu mahasiswa lama maupun mahasiswa baru. Ini terlihat dari sejarah perkembangan OSPEK yang tidak pernah sepi dari perhatian mahasiswa. Selain itu, OSPEK juga memiliki nilai keistimewaan tersendiri dikalangan mahasiswa, khususnya kalangan aktivis. Ada yang memandang bahwa OSPEK merupakan satu fase awal pembentukan karakter mahasiswa yang diharapkan nantinya mampu melanjutkan perjuangan dikampus (pandangan idealis), ada juga yang memandang bahwa OSPEk adalah salah momentum untuk bisa melakukan proses-proses pengkaderan bagi sebuah organisasi, baik intra maupun ekstra (promo kader dan nyari kader baru), sampai ada juga yang menganggap bahwa OSPEK adalah salah satu ajang untuk ngeceng nyari mangsa baru (cewe nyari cowo en cowo nyari cewe). Begitulah ospek, begitu banyak motivasi seseorang yang memutuskan untuk menceburkan diri dalam pentas OSPEK.
Terlepas dari berbagai macam motif yang ada, yang jelas OSPEK merupakan salah satu kegiatan di kampus saya yang memiliki tensi POLITIK yang paling tinggi dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan lainya. Kenapa saya katakan demikian?, karena memang itulah kenyataanya, saya telah 3 kali mengikuti kegiatan OSPEK dan dua diantaranya saya masuk ke dalam divisi yang membuat konsep OSPEK yang dikenal dengan istilah SOSTRAN (Sosialisasi dan Transformasi), malah pada tahun 2007 saya adalah koordinatornya. dari sinilah kemudian saya banyak memotret kegiatan OSPEK dari berbagai sisi, baik itu dari sisi Politik (karena kebetulan pada saat itu saya adalah utusan dari ORMAS yang berkuasa dikampus), dari sisi sosial, dari sisi pembelajaran, dari sisi organisasi, dll. Satu hal yang kemudian saya anggap sangat dominan dalam kegiatan OSPEK adalah sisi politiknya, termasuk saya yang pada saat itu juga lebih menggunakan cara-cara politis dalam menjalankan kegiatan OSPEK tersebut.
Ada kawan dan ada lawan serta ada medan pertempuran (OSPEK), begitulah gambaran secara sederhananya. OSPEK adalah medan pertempuran antara berbagai macam kepentingan yang ada dikampus, oleh karena itu saya mengatakan bahwa OSPEK adalah kegiatan yang memiliki tensi Politik yang tinggi, karena disitu ada perang pemikiran, perang ideologi, bahkan juga ada perang personal, pembunuhan karakter, pembantaian, perkeelahian, percekcokan, kericuhan, penelikungan, kompromi, strategi dll.
Pengalaman saya pada tahun 2006 setidaknya bisa memberikan suatu gambaran betapa tinggi suhu politik kegiatan OSPEK, pada saat itu kebetulan saya menjabat sebagai Sostran muda. Ada suatu kejadian yang sangat mengejutkan bagi saya dan mungkin juga bagi temen-temen panitia yang lain, dimana ada sebuah tragedi pemeceatan terhadap ketua panitia OSPEK oleh divisi Ta’tib (tata tertib) karena sang ketua terlambat datang pada acara simulasi OSPEK, padahal sang ketua sudah menjelaskan bahwa dia terlambat karena harus mengurusi stand OSPEK yang ada di kampus EKONOMI, bagi saya ini adalah sebuah kejadian ajaib bin aneh, ternyata tidak hanya dinegara saja yang tentaranya melakukan KUDETA ternyata di OSPEK juga ada KUDETA oleh penjaga kemanan OSPEK (divisi Ta;tib). Saya berfikir, kenapa harus ada pemecatan padahal kita satu kepanitiaan yang harusnya saling melengkapi dan memperbaiki (idealnya sebuah kepanitiaan)?, maka jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan tersebut adalah kepentingan politis kelompok lebih dikedepankan daripada logika organisasi. Untuk membedah hal tersebut mari kita kenali masing-masing pihak yang terlibat, pertama sang ketua panitia, posisi ketua panitia merupakan salah satu posisi yang cukup strategis untuk melakukan pencitraan dalam kegiatan OSPEK selain SOSTRAN, dan memang sang ketua panitia juga merupakan salah satu orang yang masuk dalam bursa pencalonan presiden BEM dari utusan ormas pada saat itu, posisi yang strategis dan background dia sebagai orang ormas menjadikan kadar resistensi kelompok lawan (dalam hal ini adalah ta’tib/kelompok belakang/kelompok kiri) menjadi tinggi, sehingga mereka selalu mencari celah dan peluang untuk membunuh karakter sang ketua panitia agar citranya hancur, dan kebetulan sang ketua melakukan sebuah kesalahan yakni datang terlambat dalam kegiatan simulasi OSPEK, peluang ini tentu saja segera di gunakan oleh kelompok lawan untuk melakukan aksi pembunuhan karakter terhadap sang ketua panitia, mereka tidak peduli berbagai macam alasan yang dikeluarkan karena yang ada dalam fikiran mereka adalah sang ketua harus hancur namanya.
Kasus pemecatan ketua panitia tersebut hanya menjadi salah satu contoh dari tingginya tensi poltik kegiatan OSPEK, masih banyak contoh-contoh lain yang dapat membedah OSPEK dari sisi politik. Pada tahun 2007 dimana saya menjabat sebagai koordinator Sostran juga terjadi hal yang tidak jauh beda, dan kebetulan kali ini sayalah yang menjadi target man dari temen-temen kelompok belakang/kiri. Posisi saya yang menjadi target pembunuhan karakter pada saat itu menjadikan divisi yang saya pimpin selalu menjadi sasaran pembantaian dari temen-temen kelompok kiri/belakang, segala hal yang kami lakukan selalu salah dalam penilaian mereka. Apalagi pada saat itu rekan-rekan yang masuk dalam divisi sostran notabene adalah orang baru yang belum begitu mengenal medan di sostran, sehingga banyak yang shock dan stress dengan berbagai manuver politik yang dilancarkan kepada divisi sostran. Bahkan pada suatu malam evaluasi terjadi sebuah perdebatan sengit antara kami (sostran) dengan temen-temen ta’tib yang pada saat itu masih di backup oleh salah satu tokoh senior kampus yang notabene adalah koordinator sostran tahun kemarin. Perdebatan berlangsung begitu sengit, sampai-sampai dari divisi yang saya pimpin ada yang pinsan karena mentalnya sudah tidak kuat. Dengan segala kemampuan yang saya miliki, saya berusaha untuk tetap bertahan dengan konsep kami yang malam itu sedang digugat. Ibarat sebuah pertempuran, satu persatu persenjataan kami (sostran) pun berhasil dilucuti oleh pihak lawan, saya selaku pimpinan pada saat itupun merasa bahwa pertahanan kami (sostran) sudah semakin melemah dan sedikit kemungkinan untuk bisa memenagkan perdebatan pada malam itu. Akhirnya dengan berat hati malam itu kami menyerah, dan sayapun mengatakan “kalau memang itu yang temen-temen inginkan maka, kami (sostran) menyerahkan semuanya kepada temen-temen”. Dengan clossing statement dari saya tersebut akhirnya perdebatan malam itupun selesai untuk sementara dan akan dilanjutkan kembali pada jam 9 malam. Masing-masing dari kami pun memanfaatkan waktu tersebut untuk istirahat, dan sayapun segera bergegas ke ruang kesehatan untuk melihat kedaan dari salah satu rekan saya di sostran yang pinsan, saya melihat dia terbaring lemas, kata seorang yang merawat, dia selalu menyebut nama saya karena dia ternyata sangat khawatir dengan saya yang pada saat itu sedang di bantai habis-habisan. Dan sayapun tersenyum kepada dia dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja, setelah itu saya keluar dari ruang kesehatan untuk menemui rekan-reakn sostran yang lain.
Kekalahan tersebut benar-benar membuat saya terpukul dan pusing, namun saya tetap berfikir kalau saya tidak boleh kalah, masih ada satu hari bagi saya untuk bisa membalas kekalahan tersebut. Akhirnya pada malam itu saya memutuskan untuk datang terlambat pada rapat malam harinya, karena saya merasa perlu bertukar fikiran dengan salah seorang kawan yang mungkin saja bisa sedikit membuka kebuntuan pikiran saya pada saat itu. Akhirnya sayapun bergegas meninggalkan kampus untuk menemui kawan saya tersebut. Saya berbicara panjang lebar dengan dia, dan dia mengatakan bahwa strategi temen-temen belakang untuk tetap memaksakan konsep OSPEK sampai chaos merupakan strategi untuk menjebak saya agar dicitrakan buruk di temen-temen mahasiswa baru, dan yang harus kamu lakukan adalah tidak usah ikut masuk dalam kegiatan eksternalisasi tersebut. Tanpa banyak pertimbangan saya mengiyakan saran dari temen saya tersebut dan segera bergegas kembali ke kampus untuk mengikuti rapat yang tadi ditunda.
Sesampainya dikampus, ternyata belum banyak panitia yang hadir dan acaranya pun belum dimulai. Malam sudah semakin larut, terlihat jam yang berada dia atas pintu aula sudah menunjukan pukul 22.30. akhirnya dengan pertimbangan waktu rapatpun kembali dimulai untuk membahas konsep yang ditawarkan oleh temen-temen belakang. Rapatpun dimulai, sang senior kampus yang merupakan representasi dari temen-temen belakangpun memulai mempresentasikan konsep yang ditawarkan dalam acara eksternalisasi (ending kegiatan OSPEK) buat esok hari, dia menerangkan panjang lebar dari teoritis sampai tekhnis. Semua orang pada saat itu memperhatikan dengan sangat serius, kecuali saya mungkin yang hanya terdiam melihat hal tersebut sambil berfikir tentang apa yang tadi disarankan oleh temen saya. Namun, saya agak sedikit kaget setelah pembahasan tersebut sampai pada hal alur content yang perlu disampaikan dan siapa yang perlu menyampaikan. Ternyata hampir semua prediksi temen saya benar, sayapun langsung memutar otak untuk mempersiapkan medan pertempuran yang akan digelar besok pagi. Saran dari temen saya masih saya pegang, namun saya masih merasa ada yang kurang sepakat dengan saran temen saya tersebut. Sayapun terus berfikir, sampai akhirnya saya memutuskan untuk tetap mengikuti acara eksternalisasi, namun saya mengambil sisi amannya yakni dengan mengambil peran sebagai prolog dari acara eksternalisasi tersebut, sehingga saya tidak di cap sebagai pengecut di tataran panitia dan juga tidak dicitrakan buruk ditemen-temen mahasiswa baru.
Keesokan harinya suasana terasa sangat tidak nyaman bagi saya, karena pembantaian yang saya alami semalam masih terasa begitu menyesakan. Namun, sebagai seorang yang professional saya harus tetap menyelesaikan amanah ini sampai akhir. Dengan kondisi yang masih labil, saya masih berusaha untuk memperhatikan setiap gerak-gerik dari lawan politik saya di OSPEK, hal tersebut saya anggap penting sebagai bahan referensi untuk menajamkan strategi yang akan saya lakukan pas eksternalisasi.
Akhirnya, acara puncakpun dimulai sayapun sudah membagi setiap personal dalam divisi saya untuk memainkan peranya pas acara eksternalisasi. Divisi-divisi yang lainpun sudah menempati posnya masing-masing, suasana terasa begitu tegang, semua mahasiswa baru terdiam, tatib juga sudah memasang wajah sangarnya, sehingga menambah tegang suasana yang ada. Dengan pelan saya mulai menaiki panggung untuk berorarsi di depan mahasiswa baru, saya berorarsi dengan nada yang pelan tanpa adanya kata-kata yang bersifat provokativ sehingga tidak ada pengaruh yang cukup signifikan terhadap mahasiswa baru, kemudian pemain berikutnya mulai menaiki panggung, berbeda dengan saya pemain yang kedua ini sudah mulai menaikan grade sehingga nada suaranyapun mulai keras dan provokativ, setelah pemain kedua selesai munculah pemain ketiga untuk mengantarkan peserta OSPEK sampai tataran puncak, namun peserta OSPEK belum menunjukan reaksi yang diinginkan oleh panitia, sampai akhirnya pemain ke empat mulai berorasi dengan nada yang sangat lantang, sampai mungkin lidahnya keseleo dengan mengatakan “siapa yang berani melawan tatib?”, mendengar kata-kata tersebut peserta OSPEK mulai menunjukan reaksinya untuk melawan tatib sehingga suasanapun menjadi gaduh dan tidak terkendali, ada tatib yang jatuh karena terpukul oleh peserta, banyak juga peserta yang berteriak histeris, dll. Melihat situasi tersebut akhirnya saya dan temen-temen sostran mengambil langkah cepat untuk mengendalikan kondisi yang sedang kacau tersebut. Saya dan temen-temen sostran yang lain segera menaiki panggung untuk menenangkan peserta, dengan suara yang lantang saya mengatakan “komando ada ditangan saya kawan-kawan” dan temen-temen sostran mulai memberikan pengertian kepada peserta OSPEK agar suasana kembali menjadi tenang. Setelah suasana bisa dikendalikan saya dan temen-temen sostran kembali berorarsi dan menutup proses tersebut dengan sumpah mahasiswa Indonesia…
Dan akhirnya sebuah darama OSPEK selesai tanpa meninggalkan bekas apapun…..
Dan itulah yang selalu terjadi dalam setiap hajatan akbar yang bernama OSPEK…
Tidak ada tujuan yang jelas…
Tidak ada konsep yang matang…
Tidak ada cita-cita bersama…
Tidak ada perubahan…
Karena yang ada adalah konflik kepentingan…
Ketika OSPEK hanya dimaknai seperti itu maka selamanya tidak akan terlahir generasi yang mampu untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada dikampus….
Marilah renungkan Kawan….
Mudah-mudahan hal tersebut tidak terulang di OSPEK 2009….!!!

Menghilangkan STREZZ Dengan Memancing

Menghilangkan STREZZ dengan Memancing..
Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Merupakan suatu hal yang wajar ketika seseorang merasakan kejenuhan dalam aktivitas kehidupanya, karena memang itu menjadi salah satu watak dasar dari manusia yakni mudah bosan. Oleh karena itulah manusia membutuhkan hiburan untuk menghilangkan rasa jenuh tersebut. Ada banyak cara yang dilakukan oleh seseorang dalam menghilangkan kepenatan aktivitas yang dilakukan. Misal, ada yang memilih untuk pergi jalan-jalan ke taman, mall atau juga sampai ke gunung hanya untuk mencari suasana yang berbeda dan memberikan ketenangan serta kepuasan batin, ada juga yang memilih untuk menuliskan semua kejenuhan tersebut lewat tulisan, ada juga yang memilih untuk curhat sama temen, dan ada juga yang melampiaskanya dengan main game, pokoknya banyak cara yang dilakukan untuk menghilangkan kejenuhan.
Namun, kalau saya punya cara tersendiri dalam menghilangakan kepenatan hidup, yakni dengan memancing. Bagi saya memancing merupakan sebuah terapi untuk mengendurkan syaraf-syaraf yang tegang selama menjalani rutinitas hidup. Dengan memancing jiwa dan pikiran saya terasa lebih tenang, sehingga masalah yang tadinya rumit terasa menjadi lebih ringan karena ketenangan yang saya dapatkan ketika memancing.
Kalau perhatikan memancing merupakan aktivitas yang memiliki filosofi yang sangat baik secara psikologi. Memancing merupakan aktivitas yang membutuhkan ketenangan dan kesabaran yang ekstra, tanpa itu saya kira orang tidak akan betah berlama-lama memancing, namun demikian kesabaran itu akan membuahkan hasil yang sangat memuaskan hati ketika umpan tersebut disambar ikan dan akhirnya kita mampu mendapatkan ikan. Filosofi kehidupan yang saya maksudkan adalah memancing memberikan pelajaran kepada kita bahwa untuk memperoleh apa yang kita inginkan itu membutuhkan sebuah kesabaran, ketenangan, serta kerja keras karena sesungguhnya dibalik itu semua ada sesuatu hal yang membahagiakan yang akan kita dapatkan.
Oleh karena itulah saya katakan memancing merupakan sebuah alternative terapi dalam menghilangkan kepenatan dalam hidup. karena dengan memancing, selain memperoleh suasana baru, kita juga mendapatkan pelajaran tentang filosofi sebuah hidup…

Dalam Perenungan

DALAM PERENUNGAN
Terkadang realitas itu tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan..???, namun apakah kita akan menyesali itu?, menangis dan menyalahkan takdir tuhan?, atau sebaliknya kita akan bangkit dan berusaha merubah kenyataan tersebut menjadi lebih indah sesuai dengan bayangan kita..??
(Fahmi Fatkhurozi, Dalam Perenungan)

Saya yakin semua orang pasti pernah merasakan kegelisahan, ketakutan, kecemasan, kegalauan dan sejenisnya ketika dihadapkan pada sebuah kenyataan yang tidak kita inginkan. Karena memang pada dasarnya itulah yang kemudian dinamakan “masalah” hidup, karena apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataanya. Namun, kalau kita coba telaah lebih dalam, sesungguhnya makna dari kehidupan sendiri adalah “masalah” sehingga setiap orang hidup pasti memiliki masalah. Kalau misalkan makna dari hidup sendiri adalah “masalah” maka sesungguhnya hidup adalah sebuah seni untuk menyelesaikan masalah. Artinya, kita tidak mungkin bisa lari dari kenyataan tapi yang ada adalah kita harus menhadapi sebuah kenyataan untuk menuju ke kenyataan selanjutnya.
Mungkin apa yang saya kemukakan diawal terlihat begitu sederhana, namun memang dalam prakteknya ini merupakan sesuatu hal yang teramat sulit untuk dilakukan. Seperti yang saya katakan diawal bahwa makna hidup adalah seni untuk menyelasaikan masalah, ketika hidup itu dimaknai sebuah seni maka hal tersebut akan pengaruhi oleh sikap, watak dan karakter dari sesorang ketika menghadapi masalah. Banyak orang yang kemudian menjadi gila ketika dihadapkan pada sebuah masalah hidup yang rumit, tapi banyak juga orang yang menjadi sukses dari sebuah permasalahan yang pernah mereka hadapi. Kenapa demikian?. Orang yang menjadi gila karena sebuah masalah maka orang tersebut bisa dikatakan gagal dalam menjalankan seni dari kehidupan itu sendiri, karena mereka tidak bisa mencari jalan keluar dari masalah yang mereka hadapi, namun orang yang menjadi berhasil karena masalah yang pernah mereka alami, maka bisa dikatakan orang tersebut adalah orang yang memiliki seni dalam memainkan kehidupanya. Ingat, kehidupan itu adalah sebuah permainan, tapi kita jangan sampai dipermainkan oleh kehidupan, oleh karena itu pilihanya adalah kita yang kemudian harus memainkan kehidupan kita, bukan, dia, mereka, atau orang lain.

Agresi Militer ISRAEL; Sebuah misi penghancuran generasi dan peradaban ummat Islam PALESTINA


Agresi Militer ISRAEL; Sebuah misi penghancuran generasi dan peradaban ummat Islam PALESTINA
Oleh: Fahmi Fatkhurozi

I
Agresi Militer ISRAEL; Sebuah misi penghancuran generasi dan peradaban ummat Islam PALESTINA
Sudah 2 minggu lebih agresi militer ZIONIS Israel di wilayah jalur gaza Palestina berlangsung, lebih dari 760 nyawa melayang dan 3000 lebih orang luka-luka (sumber: aljazira) karena kebrutalan dan kekajaman zionis israel tersebut. di semua sudut wilayah jalur gaza seakan menjadi tempat yang sangat mengerikan bagi masyarakat palestina, tidak ada lagi tempat yang aman untuk bersembunyi dan tidak ada lagi tempat yang aman untuk berlindung karena hampir disemua titik di daerah jalur gaza mendapatkan serangan rudal dan bom dari Israel. Semuanya hancur, bangunan-bangunan yang tadinya kokoh berdiri kini telah rata dengan tanah, semua orang panik dan dihantui teror kematian yang bisa menjemput mereka setiap waktu.
Saya sepakat ketika beberapa pemimpin dunia mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Israel merupakan sebuah kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang sangat luar biasa, tapi menurut saya lebih dari itu apa yang dilakukan oleh Israel tersebut adalah sebuah upaya untuk menghancurkan generasi dan peradaban Islam di tanah palestina. Hal tersebut dapat kita lihat dari bebearapa indikasi:
Pertama, sasaran serangan Israel kebanyakan adalah kaum wanita dan anak kecil. Tanpa bermaksud mendeskriditkan posisi kaum hawa, wanita secara kodrat merupakan insan yang dikarunia keistimewaan oleh tuhan untuk bisa mengandung dan melahirkan, artinya wanita adalah simbol regenrasi sebuah generasi, karena dari rahim wanitalah generasi-genrasi baru akan dilahirkan dan dari wanitalah keberlangsungan suatu generasi akan tetap terjaga. Dan israel sangat paham akan hal tersebut, oleh karena itu israel menjadikan wanita sebagai salah satu sasaran utama dari agresi militernya. Selain wanita, anak-anak juga merupakan salah satu symbol dari regenerasi suatu generasi, dimana anak-anak inilah yang nantinya akan menjadi pewaris dan pemegang tongkat estafet perjuangan selanjutnya dari generasi-generasi sebelumnya. Dan sekali lagi Israel juga sangat mengerti akan hal tersebut oleh karena itu selain wanita Israel juga menjadikan anak-anak palestina sebagai salah sasaran agresi militernya di jalur gaza.
Kedua, serangan Israel lebih banyak ditujukan ke fasilitas-fasilitas pendidikan yang merupakan pusat peradaban manusia. Saya kira Israel juga sangat paham bahwa salah satu symbol dari peradaban manusia adalah pendidikan, atas dasar inilah Israel menjadikan sekolah dan universitas sebagai bagian penting dari sasaran serangan mereka. Bahkan bukan hanya sekolah milik palestina saja yang menjadi sasaran, sekolah yang dikelola oleh PBB yang ada di jalur gaza juga tidak luput dari serangan mereka.
Mungkin banyak kalangan yang mengatakan bahwa konflik di jalur gaza bukanlah konflik agama melainkan perseteruan politik antara Israel dan Hamas, namun ketika kita mencoba untuk melihat realitas tersebut secara jujur maka kita tidak bisa mengelak bahwa konflik di jalur gaza tersebut lebih dari sekedar konflik yang bersifat politis, tapi lebih kepada konflik IDEOLOGI antar dua agama samawi yang memang sudah berlangsung lama dari nenek moyang mereka dan mungkin sampai hari kiamat seperti yang dikatakan Al-Quran dalam surat Al-Baqoroh ayat 120 bahwa “orang-orang yahudi dan nasrani tidak akan pernah senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka”. Hal tersebut juga diperkuat dengan beberapa indikasi yang saya kemukakan diawal. Sehingga, saya kira tidak berlebihan ketika saya menyebut agresi militer yang dilakukan Israel di jalur gaza merupakan suatu upaya untuk menghancurkan sebuah peradaban dan generasi muslim di bumi para nabi tersebut.

II
Agresi Militer ISRAEL; Saatnya Ummat Islam Bersatu
Ada sebuah perasaan yang miris dalam hati saya ketika melihat sikap dari pemimpin-pemimpin negara arab yang sama sekali tidak memberikan sikap nyata atas agresi militer Israel ke tanah palestina di jalur gaza. Padahal wilayah mereka sangat dekat, satu suku bangsa, bahkan satu keyakinan. Namun, yang selama ini ditunjukan hanya sikap saling kecam-mengecam terhadap tragedi kemunisaan tersebut, dalam fikiran saya “kalau cuma mengecam sie tukang becak saja juga bisa mengecam”, yang dibutuhkan oleh saudara-saudara kita dipalestina bukan hanya kecaman terhadap Israel tapi lebih kepada bantuan yang bersifat riil (nyata). Seperti yang dikatakan oleh Imam Syahid Hassan Al Banna bahwa nasionalisme ummat Islam tidak hanya disatukan karena bangsa dan negara, lebih dari itu nasionalisme ummat Islam harusnya disatukan oleh satu keyakinan (aqidah) sehingga nasionalisme tersebut bersifat universal tanpa ada batas wilayah, ruang dan waktu. Rosulullah juga mengatakan dalam sebuah hadistnya bahwa ummat Islam itu diibaratkan sebuah tubuh, apabila ada satu bagian tubuh tesebut merasa sakit maka bagian yang lain juga akan merasakanya. Dari kenyataan dan apa yang di ajarkan oleh Rosulullah tersebut saya kira tidak ada alasan bagi ummat Islam yang lain khususnya bangsa arab untuk mencari aman atas kondisi yang menimpa palestina, karena mereka adalah saudara kita sehingga luka yang mereka rasakan adalah luka kita, tangis mereka adalah tangis kita dan derita yang mereka rasakan adalah derita kita, dan itulah yang seharusnya benar-benar menjadi sebuah keyakinan oleh para pemimpin negara arab, jadikan tragedi yang menimpa palestina sebagai sebuah momentum untuk bersatu antar sesama ummat islam. Tidak ada lagi ummat Islam Suriah, Iran. Irak, Yordania, Lebanon, Mesir, dll tapi yang ada adalah ummat Islam yang memiliki satu keyakinan dan satu tujuan. Dan inilah sebenarnya kunci dari kekuatan ummat Islam yang tidak bisa dikalahkan oleh kekuatan manapun.

III
Sebuah Penutup
Sampai detik ini rentetan peluru dari senapan-senapan mesin, moncong-moncong tank, rudal, bom, dan tentara-tentara Zionis Israel masih terus meneror saudara-saudara kita dipalestina. Setiap detik ada tangis yang memilukan, ada jeritan ketakutan, ada darah yang mengucur, dan setiap detik adalah teror kematian untuk bangsa palestina. Namun, dalam derita yang mendera, dalam tangisan yang memilukan, dalam jaritan ketakutan dan dalam teror-teror yang selalu dilancarkan zionis Israel tersebut masih ada harapan dan keyakinan dalam diri saya bahwa Islam akan tetap menjadi agama yang dimenangkan oleh Allah SWT, asalkan Islam tidak lagi terkotak-kotak dalam batasan wilayah, negara, suku bangsa dll, tapi Islam adalah Islam sebagai sebuah keyakinan yang memiliki satu tujuan untuk menegakan kalimatullah.

TERTAWA NGAKAK SEBELUM, PADA SAAT, DAN SETELAH AKSI DEMONSTRASI

TERTAWA NGAKAK SEBELUM, PADA SAAT, DAN SETELAH AKSI DEMONSTRASI
Sisi Lain Dari Aksi Demonstrasi Mahasiswa
Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Pagi ini seusai sholat shubuh tepatnya jam 04.40 saya menhampiri komputer saya untuk sedikit menulis apa yang semalam mengaggu pikiran dan imajinasi saya. Ini bukan tentang kuliah yang menurut saya mulai terasa membosankan (maklum udah smester 7), atau bukan juga tentang film, bola, PS, yang memang sering jadi bahan obrolan saya sebagai kaum adam. Lebih dari sekedar itu, apa yang saya tuliskan pagi ini adalah deskripsi dari pengalaman saya ketika masih aktif di lembaga pemerintahan mahasiswa (BEM). Ada beberapa kejadiaan yang hari ini sedikit menyentil dan membuat saya kembali berfikir tentang apa yang kemarin-kemarin sudah saya dan temen-temen lakukan, sebenarnya ini juga berawal dari rasa iseng saya untuk membuat sebuah film dokumenter tentang saya dan kampus sebagai kenang-kenangan buat saya pribadi. Namun, ketika saya membuka beberapa arsip film di komputer temen saya, tidak sengaja saya menemukan ada beberapa gambar dan adegan film yang sedikit mengganggu fikiran saya yang kemudian memaksa imajinasi dan nalar berfikir saya untuk bekerja menelaah beberapa gambar dan adegan film yang menurut saya sdikit bermasalah dan tidak patut dilakukan oleh seorang aktivis tersebut.
Mungkin anda sekalian penasaran film apakah gerangan yang saya maksudkan diatas?. Sabar brurr…, yang jelas ini bukan film tentang tawuran mahasiswa yang sekarang ini banyak terjadi di beberapa universitas di daerah?, atau juga bukan tentang aksi demonstrasi mahasiswa menentang pengesahan UU BHP yang sekarang ini marak dilakukan oleh mahasiswa di seluruh pelosok daerah. Namun, film yang saya maksudkan disini adalah sebuah film tentang dokumentasi sejarah pergerakan mahasiswa di universitas jenderal soedirman yang di abadikan oleh seorang kawan kedalam sebuah film. Mungkin yang menjadi pertanyaan anda selanjutnya adalah “Lantas apa yang menjadi masalahnya?”, kan udah di bilang sabar brurr…!!, baik saya lanjutkan kembali ceritanya…, yang menjadi masalah dalam film tersebut adalah ketika saya menemukan salah satu adegan dalam film tersebut dimana salah seorang kawan tertawa terbahak-bahak dengan wajah yang sangat ceria dan mengucapkan kata “kupret lo” seusai aksi demonstrasi penolakan POM (Persatuan orang tua mahasiswa). Mungkin, bagi sebagian orang ini adalah permasalahan sepele yang tidak penting untuk di bahas. Namun, kalau menurut saya ini adalah sebuah permasalahan yang cukup penting dan fundamental bagi pergerakan mahasiswa ke depan. Bukan karena masalah tertawanya, tapi lebih kepada keseriusan dari mahasiswa itu sendiri ketika mengusung sebuah aksi. karena saya kira kita semua sepakat ketika seorang itu tertawa terbahak-bahak maka bisa dikatakan seorang tersebut jauh dari kata “serius” atau dengan kata lain orang tersebut sedang “bercanda/bergurau”, padahal aksi demonstrasi adalah sebuah gerakan sosial yang notabene bukan gerakan main-main. lantas, menurut anda apakah pantas hal itu dilakukan? (mohon dijawab dengan kejujuran hati).
Analisa saya tentang adegan bermasalah (menurut saya) dalam film tersebut juga dipertegas dengan beberapa pengalaman saya di beberapa aksi demonstrasi yang sudah saya ikuti dan juga beberapa aksi demonstrasi mahasiswa yang ditayangkan di stasiun televisi. Dan memang ketika hari ini saya kembali memikirkan hal tersebut maka adegan film yang sudah saya ceritakan diatas hanya menjadi salah satu bagian dari sisi memalukan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa, karena memang kalau saya perhatikan adegan-adegan tersebut sering terjadi dalam setiap aksi demonstrasi yang diusung oleh mahasiswa di kampus saya dan mungkin juga dikampus-kampus lain..
Tertawa memang adalah hak setiap individu, bahkan komedian legendaris WARKOP DKI mengabadikan masalah “tertawa” kedalam salah satu icon guyonya yakni “tetawalah sebelum tertawa itu dilarang”. Namun, saya kira kita juga perlu melihat konteksnya (kapan dan dimana) tertawa itu pantas dilakukan. Kalau kita sedang nonton film komedi, maen PS, jalan-jalan, santai, dll mungkin itu tidak menjadi persoalan, namun ketika kondisi dan situasi menuntut kita untuk bersikap serius maka saya kira itu adalah sebuah keharusan (kewajiban). Artinya, secara sederhana “kalau mau guyon jangan di medan perjuangan”, karena medan perjuangan bukanlah tempat untuk bermain-main melainkan suatu tempat yang menuntut seseorang itu bersikap serius dan matang karena disitu ada amanah rakyat, ada jeritan rakyat dan ada harapan rakyat. Jadi, saya kira sangat tidak etis ketika dalam aksi demonstrasi yang merupakan salah satu dari bentuk perjuangan mahasiswa dilakukan secara main-main, yang itu tercermin dari sikap-sikap mahasiswa itu sendiri yang mungkin hanya menganggap aksi demonstrasi sebagai pertunjukan jalanan.
Tulisan saya ini tentu saja bukan berarti menjustifikasi bahwa setiap mahasiswa yang mengikuti aksi demonstrasi berperilaku demikian, karena saya juga masih melihat beberapa kawan yang terlihat begitu gigih, serius dan rela mengorbankan dirinya dalam aksi demonstrasi yang diusungnya. Tulisan saya ini lebih kepada sebuah evaluasi serta introspeksi khususnya bagi diri saya sendiri yang juga menjadi salah satu bagian dari sejarah pergerakan di kampus dan juga bagi semua elemen gerakan mahasiswa agar kedepan aksi demonstrasi yang diusung oleh mahasiswa bukan hanya sekedar teriakan-teriakan tanpa makana, pertunjukan-pertunjukan tanpa semangat, dan pagelaran-pagelaran jalanan yang miskin akan nilai karena seperti yang saya katakan diawal bahwa aksi demonstrasi adalah sebuah gerakan sosial yang mengusung sebuah perubahan dan mengekspresikan sebuah bentuk ketidakadilan serta penindasan. Maka jangan anggap ini adalah sebuah pekerjaan main-main…

Penulis Adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dn Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Angkatan 2005

PERJALANAN HATI


Perjalanan Hati
Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Malam ini tepatnya hari sabtu tanggal 03 januari pukul 19.00 sebenarnya saya mau dikenalkan oleh salah seorang kawan dengan salah satu tokoh muhammadiyah dan juga partai politik (PAN) di daerah purwokerto, namun karena sesuatu hal rencana itupun terpaksa harus ditunda, walaupun sedikit kecewa namun saya tetap menganggap bahwa ini adalah takdir tuhan yang harus saya terima dan saya syukuri. Akhirnya, dengan perasaan yang sedikit kecewa sayapun memutuskan untuk pergi keluar mencari makanan sekaligus mencari suasana untuk hati saya yang memang sedang gundah. Pikiran saya tertuju pada satu tempat yang memang telah menjadi tempat favorit bagi saya untuk menghabiskan malam. Tempat yang saya maksudkan adalah BURJO (bubur kacang ijo), bukan tempat yang mewah memang, namun justru itulah yang menjadi daya tarik tempat ini. Nuansa kesederhanaan dan merakyat membuat tempat ini terasa begitu nyaman bagi saya dan mungkin juga bagi para pengunjung yang lain. Seperti biasa, sayapun langsung memasan segelas es coffemix untuk sedikit menghilangkan rasa haus saya. Tepat di depan saya, terlihat ibu-ibu gemuk berjilbab yang sedang menikmati mie rebus bersama suami dan anaknya, disamping kanan saya juga terlihat seorang muda-mudi yang sedang asyik ngobrol sambil menikmati gorengan yang ada didepanya, sementara si A’a (panggilan untuk para penjual Burjo) terlihat sibuk menyajikan setiap pesanan dari para pelangganya termasuk saya yang juga memasan es coffimix.
Sambil menunggu es coffemix yang sudah saya pesan sepintas saya memperhatikan suasana malam yang terbentang didepan mata saya. Saya melihat malam ini purwokerto, khususnya di daerah sekitar kampus terlihat begitu berbeda dari malam-malam sebeleumnya, jalan-jalan yang dari kemarin terlihat begitu lengang kini sudah mulai dipenuhi lalu lalang kendaraan bermotor dan juga para pejalan kaki, warung-warung makan serta pedagang kaki lima yang dari kemarin-kemarin tutup kini juga sudah kembali menawarkan barang daganganya. Keadaan tersebut sedikit mengingatkan saya bahwa ternyata masa liburan memang sudah berakhir, sehingga para mahasiswa yang dari kemarin-kemarin pulang ke kampung halamanya kini mulai kembali berdatangan ke kota purwokerto untuk memulai aktivitasnya kembali sebagai seorang anak kuliahan. Silahkan ‘A.., saya terkejut dan lamunan sayapun jadi buyar karena suara sia A’a yang menyajikan segelas es coffemix kepada saya, secara spontan sayapun langsung mengucapkan terimaksih sambil memegang segelas es coffemix yang di sajikan si A’a kepada saya. Ketika saya mulai menikmati es coffemix tersebut tiba-tiba terdengar suara yang memberikan kesejukan dan ketenangan bagi hati saya yang sedang galau, sepintas kerinduan untuk menghampiri sumber suara tersebut juga mulai menggoda hati saya, apalagi saya juga tahu kalau sumber suara tersebut berasal dari sebuah masjid megah yang bernama masjid Fatimatuzzahra, sebuah masjid yang sangat indah dengan arsitektur yang sangat menakjubkan yang membuat setiap orang yang pernah masuk ke dalamnya akan selalu memiliki rasa rindu untuk kembali, termasuk saya. Karena, saya memang salah satu orang yang telah jatuh cinta terhadap masjid tersebut.
Kerinduan sayapun semakin tak terbendung, dengan segera saya menghabiskan es coffemix tersebut sambil mengambil satu gorengan sebagai pengganjal perut, lalu saya segera bergegas menuju ketempat yang sudah memanggil saya. Subhanallah.., sebuah keindahan yang sangat menakjubkan terbentang didepan mata saya, sebuah masjid megah dengan suasana yang sangat tentram dan nyaman seolah memberikan sambutan kepada setiap orang yang akan memasukinya. Sayapun segera memarkir kendaraan yang saya bawa dan bergegas masuk kedalam masjid tersebut untuk mengambil air wudhu. Seperti biasa saya menyempatkan sedikit waktu untuk melihat mading yang terpampang dimasjid tersebut, terlihat ada sebuah tulisan yang membuat saya tertarik yakni tentang “kunci kesuksesan”, kayaknya sie tulisan tersebut merupakan salah satu karya dari salah satu santri di masjid tersebut. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa kunci kesuksesan itu ada dua yakni usaha kita untuk meraih kesuksesan dan izin dari Allah yang memberikan kesuksesan. He.he.., saya sedikit tersenyum dan merasa malu membaca tulisan tersebut karena memang selama ini saya memiliki banyak obsesi untuk menjadi orang yang sukses namun tidak dibarengi dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapai kesuksesan yang saya inginkan tersebut. dengan sedikit rasa malu dan penyesalan setelah membaca tulisan tersebut sayapun langsung menuju ketempat wudhlu dan memulai kewajiban saya sebagai seorang muslim.
Setelah selesai sholat, sejenak saya memanjatkan doa kepada sang penguasa Alam dan menyempatkan untuk sholat sunnah ba’diyah isya. Dan alhamdulillah, kegalauan perasaan sayapun sedikit berkurang, hati dan perasaan saya menjadi tentram, dan fikiran saya juga menjadi lebih tenang setelah menunaikan sholat. Sungguh saya merasa bersyukur atas karunia Allah yang diberikan kepada saya malam ini, ada banyak hikmah dan pelajaran yang saya dapat dalam perjalanan hati saya malam ini. Bahwa secara fitrah ternyata hati manusia memang membutuhkan Tuhan (Allah) sebagai sandaran dan pegangan hidupnya khusunya dikala hati kita sedang resah, gundah, dan gelisah.

Penulis Adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Angkatan 2005