Rss Feed

MAKNA SEBUAH KESUKSESAN DI TENGAH PERADABAN MATERIALISTIS

Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Rasa dilema dan resah lah yang pada akhirnya menggerakan saya untuk menggoreskan apa yang terjadi di lingkungan masyarakat kita dan kegundahan perasaan saya terhadap apa yang terjadi tersebut ke dalam sebuah tulisan ringan yang mungkin bagi sebagian orang tulisan ini adalah sesuatu hal yang konyol karena terlalu melawan arus realitas yang terjadi di masyarakat, dan secara jujur saya pun masih di dera rasa dilema ketika harus memikirkan hal ini.
Keinginan untuk menuliskan unek-unek saya ini semakin menguat ketika saya menonton sebuah film di layar televisi, saya lupa judulnya apa, tapi jalan cerita dalam film tersebut masih sangat kuat teringat dalam otak saya, karena bagi saya film tersebut sangat mewakili apa yang terjadi dalam masyarakat kita dan juga pada diri saya. Film tersebut menceritakan tentang idealisme seorang sarjana tekhnik (arsitek) yang berasal dari kampung di pinggiran kota jakarta yang ingin mendedikasikan apa yang dia miliki untuk mengajar di sebuah SD yang sangat sederhana yang bernama SD “Perintis Bangsa”. SD tersebut merupakan sebuah SD yang di peruntukan untuk menampung dan mendidik anak-anak yang tidak mampu, tidak seperti sekolah pada umumnya, anak-anak didik yang sekolah di SD tersebut juga tidak mengenakan seragam sekolah dan sepatu, biaya operasional SD tersebut sebagian besar juga di tanggung oleh salah satu guru dari 3 guru yang mengajar disitu. Kesederhanaan dari SD tersebut sama sekali tidak menawarkan materi dan kesuksesan dunia lainya. Jadi bisa di katakan guru-guru yang mengajar di SD tersebut adalah guru yang memiliki dedikasi yang tinggi terhadap pendidikan, mereka sama sekali tidak berfikir tentang materi karena mereka sadar dengan sepenuh hati bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah bentuk pengabdian bukan sebuah profesi yang berorientasi pada profit. Namun, apa yang di lakukan oleh salah seorang guru yang sarjana tekhnik tersebut ternyata mendapatkan pertentangan yang kuat oleh orang tuanya sendiri, Sang orang tua yang merasa telah banyak berkorban untuk menyekolahkan anaknya hingga menjadi seorang arsitek menginginkan anaknya tersebut menjadi seorang pegawai kantoran, karena ukuran kesuksesan setelah kuliah dalam pandangan orang tuanya tersebut adalah ketika sang anak bisa bekerja di kantor besar dan mendapatkan gaji yang besar, atau dengan kata lain ketika anaknya yang seorang arsitek tersebut bekerja sebagai seorang guru SD maka sang orang tua menganggap anaknya tidak berhasil. bahkan dari masyarakat sekitar juga banyak yang mempertanyakan pilihan hidup sang sarjana tekhnik tersebut yang dianggap bukan merupakan sebuah cerminan kesuksesan dari seorang sarjana, karena dalam pandangan masyarakat seorang sarjana harusnya bekerja di kantoran bukan sebagai guru SD. Pertentangan antar orang tua dan anak tersebut semakin kuat karena sang anak yang seorang arsitek tersebut lebih memilih untuk mengabdikan dirinya sebagai seorang pengajar di sekolah dasar yang sangat sederhana tersebut padahal panggilan-panggilan kerja dari kantor besar juga sering dia terima, walaupun memang pada akhirnya sang orang tua merestui pilihan anaknya tersebut.
Dari sedikit penggalan cerita dalam film yang saya ceritakan diatas dapat di ambil sebuah kesimpulan bahwa sebagian besar masyarakat kita dan mungkin juga orang tua kita ternyata mengukur sebuah kesuksesan dari sudut pandang yang terlalu sempit yakni “materi”, seakan-akan orang dikatakan sukses ketika dia memiliki posisi yang bagus dalam sebuah perusahaan besar ataupun di instansi-instansi pemerintahan, gaji besar, berdasi, punya mobil mewah dan ukuran-ukuran materil lainya. Bagi saya kondisi tersebut merupakan sebuah penyakit dan malapetaka yang terjadi di masyarakat kita, karena kondisi yang seperti itu akan memunculkan suatu penyakit sosial seperti yang dikatakan oleh Rasulullah yakni penyakit ubbud dunia (cinta dunia), ketika penyakit ini sudah menjalar dan mengakar kuat di masyarakat maka yang akan terjadi adalah terlahirnya manusia-manusia egois yang mengagung-agungkan kemewahan dunia, dan manusia-manusia tersebut akan selalu menilai sesuatu dari sudut pandang material, termasuk dalam hal kesuksesan hidup seperti yang saya kemukakan diawal.
Saya akan mencoba mengantarkan anda semua ke dalam jalan fikiran saya dengan sebuah ilustrasi sederhana, misalkan dalam sebuah masyarakat ada dua orang yang menjadi fokus kita, pertama orang tersebut adalah seorang direktur utama di sebuah perusaha berskala nasional, waktu hidupnya ia habiskan untuk bergelut dengan dunia bisnis yang memberikan banyak kemewahan bagi hidupnya, dengan posisinya tersebut ia bisa memiliki rumah yang sangat mewah, mobil, gaji yang besar, dll. Dan yang kedua adalah seorang yang sangat bersahaja yang berprofesi sebagai seorang guru di sebuah desa terpencil, dia tidak memiliki rumah, kendaraanya hanya sebuah sepeda butut, dan gajinyapun tidak seberapa (hanya cukup untuk makan). Namun, ia memiliki keinginan yang sangat besar untuk membangun sebuah peradaban dengan mengajarkan anak-anak di desa tersebut ilmu pengaetahuan. Dari ilustrasi tersebut ketika saya bertanya kepada anda semua, kira-kira dari dua orang tersebut mana yang anda sebut sebagai orang ”sukses”?. Kalau saya yakin sebagaian besar masyarakat kita akan menilai bahwa orang pertamalah yang di sebut sebagai orang sukses, karena memang citra orang sukses yang melekat dalam benak sebagaian masyarakat adalah yang seperti itu, sedangkan untuk orang yang kedua adalah orang yang hanya akan mendapatkan rasa iba dan belas kasihan dari masyarakat meskipun ia memiliki dedikasi yang besar terhadap pendidikan, namun itu tidak di nilai sebagai sebuah kesuksesan.
Hal ini lah yang kemudian menjadi permasalahan dan penyakit di masyarakat kita, sebuah penilaian yang sangat sempit akan makna sebuah ”kesuksesan”. Karena saya pikir makna ”sukses” tidak selalu harus di ukur dengan materi, karena satu hal yang lebih penting dari sekedar materi yakni ”dedikasi”, makna inilah yang terkadang diabaikan oleh sebagian besar masyarakat kita, entah apakah ini karena perdaban materialistis yang sudah semakin mengakar kuat di masyarakat atau bagaimana sayapun kurang tahu, tapi yang jelas ini adalah gejala dimana masyarakat sudah semakin di butakan dengan dunia.
Rosulullah dan sahabat-sahabatnya mengajarkan kepada kita bagaimana menghargai seseorang di lihat dari dedikasinya bukan dari materi yang dimilikinya. Misalkan suatu hari rosulullah mengatakan bahwa sebentar lagi akan datang seorang ahli surga, dan tanpa di sangka-sangka seorang ahli surga yang di maksud oleh rosulullah bukanlah seorang pejabat ataupun seorang kaya raya, melainkan seorang anak muda miskin yang telah dengan ikhlas menggendong ibunya dari negeri syam menuju madinah untuk bertemu rosulillah, ini adalah sebuah bukti bahwa rosulullah dalam memandang seseorang lebih di tekankan pada kebaikan apa yang telah ia lakukan bukan apa yang ia punya, meskipun kebaikan tersebut dianggap kecil bagi sebagian orang.
Saya kira kita harus lebih jernih dalam menilai sebuah ”kesuksesan” agar kita tidak terjebak dalam sebuah sudut pandang akan makna ”kesuksesan” yang sempit yakni ”materil”. Karena kalau kita melihat secara jernih makna kesuksesan maka sesungguhnya banyak orang-orang sukses yang ternyata dipandang sebagai orang yang tidak sukses oleh masyarakat karena kehidupanya yang miskin. Guru-guru ngaji di pelosok kampung yang mengajarkan kebaikan kepada masyarakat sekitarnya merupakan orang-orang sukses yang membangun perdaban dengan ilmu agamanya, guru-guru miskin di pedalaman-pedalaman yang mencoba mengajarkan anak-anak suku pedalaman untuk membaca merupakan guru-guru yang sukses dalam hal pendidikan, seorang sukarelawan yang dengan ikhlas mendidikasikan dirinya untuk menolong korban-korban bencana alam merupakan orang yang sukses dalam hal kemanusiaan, masyarakat adat dengan kesederhanaan dan budayanya yang berusaha untuk menjaga kelestarian alam merupakan masyarakat yang sukses dalam menjaga kelestarian alamnya, namun secara umum mereka dipandang sebagai orang-orang yang tidak sukses oleh sebagian besar masyarakat karena kemiskinanya dan ketidakberdayaanya dalam hal ekonomi, padahal kebaikan-kebaikan mereka jauh lebih nyata dari para politisi yang berkoar-koar tentang perjuangan atas nama rakyat namun dalam kenyataanya malah justru semakin menyiksa rakyat dengan kebijakan-kebijakanya. Lantas manakah yang lebih sukses antara politisi dengan orang-orang yang saya sebutkan di awal kalau di lihat dari sisi dedikasi bagi kebaikan dan perbaikan masyarakat?, saya kira kalau otak kita masih waras maka sungguh terlihat jelas mana yang lebih pantas untuk dikatakan sebagai orang sukses.
Dari sinilah kemudian kita perlu membuka mata bahwa ternyata banyak orang-orang sukses di sekitar kita, walaupun secara ekonomi mereka terbatas namun semangat untuk mendedikasikan dirinya bagi perbaikan dan kebaikan masyarakat merupakan sebuah ukuran kesuksesan yang lebih nyata dari pada sekedar ”materi” dan tanpa di sadari juga kita sering menganggap mereka hanya sebagai orang-orang yang perlu mendapatkan rasa iba dan belas kasihan bukan sebagai orang yang perlu mendapatkan penghormatan dan pengahagaan karena kesuksesanya dari sisi dedikasi sosialnya. Kita lebih memilih orang-orang kaya yang egois secara sosial namun secara materi terlihat begitu mengagumkan sebagai orang-orang yang dianggap ”sukses”. Dari pernyataan saya tersebut bukan berarti saya membenci orang kaya dan melarang anda untuk menjadi orang kaya, karena pada dasarnya islam juga mengajarkan kepada ummatnya agar menjadi orang yang kaya. Pernyataan saya tersebut lebih kepada sebuah upaya untuk membuka mata kita semua bahwa sesungguhnya dalam menilai sebuah ”kesuksesan” ukuranya bukanlah di lihat dari ”materi”, tapi lihatlah dari dedikasi atau apa yang telah ia perbuat untuk kebaikan dan perbaikan masyarakat, pundi-pundi amal shaleh sosial itulah yang seharusnya di jadikan sebagai sebuah standart untuk mengukur apakah seseorang itu pantas di katakan ”sukses” atau tidak

0 komentar:

Posting Komentar