Rss Feed

BAD PUBLIC SERVICE KERETA API KALIGUNG

Oleh: Fahmi Fatkhurozi

I. KEBUTUHAN MASYARAKAT AKAN TRANSPORTASI
Kota semarang agaknya masih menjadi salah satu alternatif pilihan bagi masyarakat tegal untuk melakukan aktivitasnya, dari mulai yang berkarier sampai yang menuntut ilmu, karena memang status semarang yang merupakan ibu kota provinsi menjadikanya sebagai salah satu kota yang menawarkan banyak hal, dari mulai pekerjaan sampai perguruan-perguruan tinggi yang terkenal dan bonafit. Kenyataan tersebut tentu saja akan berdampak pada permasalahan transportasi yang menghubungkan antar dua kota tersebut karena semakin banyaknya masyarakat yang menggunakan jasa layanan transportasi tersebut, sampai sekarang ini ada dua transportasi yang bisa di gunakan oleh masyarakat Tegal yakni transportasi bus dan kereta api. Dari dua transportasi tersebut masyarakat Tegal lebih banyak yang memilih transportasi kereta api, hal tersebut di karenakan kereta api memiliki dua keunggulan di bandingkan bus, pertama biaya kereta api jurusan Tegal Semarang jauh lebih murah di bandingkan bus, dan yang kedua kereta api jauh lebih cepat di bandingkan bus, jadi bisa efisien waktu.

II. KELUHAN MASYARAKAT
Namun, sayangnya keunggulan transportasi kereta api tersebut tidak di dukung dengan sistem layanan yang baik, atau bisa di katakan layanan yang selama ini di berikan oleh pihak PT. KAI masih banyak menuai keluhan dari para pelanggan kereta api jurusan Tegal-semarang. Menurut saya ada dua hal pokok yang sering di keluhkan oleh pengguna jasa layanan kereta api tegal-semarang. Pertama, masalah keterlambatan kereta. Untuk permasalahan ini saya pernah mengalaminya sendiri, bahkan bukan hanya sekali dua kali saja tapi lebih dari itu. Sebagai contoh, Waktu itu saya habis ikut seleksi CPNS KPU Jawa Tengah dan habis test saya langsung begegas menuju stasiun untuk membeli tiket kereta api yang pukul 13.20, sesampainya di sana saya bersyukur karena saya belum mendapati antrian yang panjang di loket pembelian tiket, sehingga dalam waktu sebentar saya sudah bisa mendapatkan tiket. Setelah saya sudah mendapatkan tiket sayapun segera masuk ke tempat penungguan kereta api karena keretanya di jadwalkan berangkat pukul 13.20. karena waktu itu masih pukul 13.00 sayapun masih punya kesempatan untuk bisa sedikit beristirahat sambil minum softdrink. Beberapa saat kemudian munculah kereta api yang sudah saya tunggu, secara spontan semua calon penumpangpun berdiri untuk menyambut kedatangan kereta tersebut, para petugaspun sibuk untuk mengatur para calon penumpang agar tidak terlalu dekat dengan rel kereta api. Begitu pintu kereta terbuka semua calon penumpang segera berebut memasuki kereta agar bisa mendapatkan tempat duduk, suasana semakin sesak karena dari dalam keretapun banyak penumpang yang hendak turun, jadi desak-desakanpun tidak bisa di elakan lagi. Akhirnya semua orang sudah bisa memasuki kereta, dan saya bersyukur karena saya masih mendapatkan tempat duduk, namun selang beberapa manit saya duduk tiba-tiba ada pengumuman dari pihak stasiun bahwa semua penumpang di harapkan turun karena kereta api akan masuk depo terlebih dahulu. Dengan perasaan yang nge-grundel para penumpangpun pada turun dari kereta dan terpaksa harus menunggu lagi. Saya dan penumpang yang lainya menunggu sekitar ½ jam sampai akhirnya kereta tersebut datang kembali, dan seperti biasa semua penumpang kembali berdiri untuk siap-siap memasuki kereta api, begitu kereta api berhenti dan pintu terbuka semua orang kembali memasuki kereta dengan susah payah, dan sekali lagi saya bersyukur karena kali ini saya juga masih mendapatkan tempat duduk. Namun selang beberapa menit, saya dan penumpang yang lainya kembali di minta turun oleh petugas stasiun karena katanya kereta akan memasuki depo. Kali ini emosi saya dan penumpang yang lainya sudah mulai naik, gila sudah 2 kali susah-susah mendapatkan tempat duduk tapi di suruh turun dengan enaknya, udah gitu petugasnya juga tidak ada sopan-sopanya lagi, minta maaf kek, kita itu kan penumpang yang sudah bayar gerutu saya dalam hati. akhirnya dengan emosi yang sudah mulai naik saya dan penumpang yang lainyapun turun lagi dari kereta, saya dan penumpang yang lainyainyapun terpaksa harus menunggu kembali. Hampir 1 jam saya dan penumpang yang lainya menunggu kedatangan kereta, sampai akhirnya kereta tersebut datang dan semua penumpang akhirnya bisa menaiki kereta tanpa harus di suruh turun dan keretapun berangkat pada pukul 15.10. Luar biasa coba kita hitung berapa kerugian waktu yang di terima oleh penumpang, jadwal keberangkatan jam 13.20 sementara kereta berangkat pukul 15.10 berarti penumpang di rugikan waktunya sekitar 1 jam 50 menit atau hampir 2 jam. Gila, kalau saja ada sebagian penumpang yang pada saat itu sedang di kejar waktu karena urusan bisnis, maka penumpang tersebut juga akan di rugikan secara ekonomi. Kedua, masalah kenyamanan kereta. Untuk permasalahan ini saya juga punya pengalaman yang menarik, pada waktu itu saya akan mengikuti tes di suatu perusahaan swasta di semarang, test tersebut di jadwalkan pada pukul 09.00 sehingga saya memutuskan menaiki kereta kaligung bisnis yang berangkat pukul 04.50 karena perhitungan saya nanti saya nyampe di semarang sekitar pukul ½ 8 pagi. Sedikit menyinggung masalah keterlambatan juga, ternyata kereta juga telat sekitar 1 jam, kereta yang harusnya berangkat pukul 04.50 ternyata baru datang pukul 06.00. tapi saya tidak akan terlalu membahas kembali masalah keterlambatan kereta karena hal tersebut sudah saya bahas di point pertama. Masalah yang akan saya bahas di sini lebih kepada permasalahan kenyamanan para pengguna jasa layanan kereta api. Saya kira kalau kita mendengar kelas bisnis, pasti pikiran kita akan berfikir tentang fasilitas yang lumayan baik, tanpa ada yang harus berdiri, berdesak-desakan, ataupun duduk lesehan di lantai kereta. Namun, ternyata itulah kenyataanya, apa yang kita pikirkan ternyata sangat jauh dari kenyataan ketika kita membeli tiket namun sudah tidak mendapatkan tempat duduk, padahal biaya-nya tetep sama. Orang yang membeli tiket namun sudah tidak mendapatkan tempat duduk biasanya di tempatkan di gerbong paling belakang yang memang sudah di sediakan secara khusus, khusus dengan segala ketidaknyamanan yang akan di rasakan. Bukan hanya itu saja, kondisi gerbong kereta juga terlihat sudah tidak terawat, hal itu bisa di lihat dari beberapa kaca jendela yang sudah retak bahkan ada yang pecah, kipas angin yang tidak jalan, dan juga kamar mandi yang sangat kotor. Ini jelas semakin menegaskan bahwa kereta api yang di sediakan sangat jauh dari rasa nyaman.

III. BAD PUBLIC SERVICE
Apa yang saya kemukakan diatas adalah sebuah kenyataan yang riil terjadi dan bagi saya ini adalah permasalahan yang harus segera diselesaikan oleh PT. KAI sebagai pihak pemberi jasa layanan, karena ini menyangkut kelancaran dan kenyamanan aktivitas masyarakat secara umum, dalam konsepsi pelayanan public maka kondisi seperti ini bisa dikatakan sebagai “bad public service” karena banyaknya keluhan dari para pengguna jasa transportasi kereta api. Secara teoritis pelayanan publik dikatakan berkualitas apabila penggunanya merasakan kepuasan dari pelayanan yang di berikan tersebut. Kepuasaan sendiri di definisikan oleh Day dalam Tse dan Wilton(dalam Tangkilisan, 2005:211) yang menyatakan bahwa kepuasan atau ketidak puasan pelanggan adalah respon pelanggan (disconfirmation) yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kerja yang lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya. Berdasarkan disconfirmation paradigm dari Oliver dalam Engle et al., (dalam Tangkilisan, 2002:212) Kepuasan pelanggan sendiri mencakup perbedaan antara harapan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. Menurut Johns, kepuasan ditentukan oleh harapan dan persepsi konsumen. Dari berbagai pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan adalah respon yang diberikan pelanggan dengan membandingkan antara apa yang diharapkan dan persepsinya terhadap apa yang dirasakannya setelah mendapat pelayanan. Meskipun definisi tersebut menitik beratkan pada kepuasan atau ketidakpuasan, produk atau pelayanan namun pengertian tersebut juga dapat diterapkan dalam menilai kepuasan pelayanan publik. Dari realitas dan konsep pelayanan publik yang sudah saya kemukakan nampak jelas bahwa PT. KAI sebagai penyedia layanan jasa kereta api belum mampu memberikan kepuasan kepada pelangganya, paling tidak di nilai dari dua hal yang sering di keluhkan oleh masyarakat pengguna jasa layanan kereta api. Dan ini jelas merupakan sebuah PR yang harus segera di selesaikan jangan sampai para pengguna jasa layanan kereta api terus di rugikan baik waktu maupun materil karena pelayanan yang tidak baik. Dan mudah-mudahan tulisan saya ini juga bisa mewakili dari sekian banyak keluhan-keluhan para pengguna jasa layanan kereta api serta saya juga berharap tulisan ini bisa menjadi bahan koreksi dan evaluasi bagi PT. KAI untuk terus melakukan perbaikan dalam pemberian layanan jasa transportasi, agar kedepan kewajiban yang sudah di berikan oleh para pengguna jasa layanan kereta api bisa terbayar dengan pelayanan yang nyaman dan memuaskan.

DEMOKRASI ALA DUNIA MAYA; Dari Demonstrasi Jalanan Ke Demonstrasi Dunia Maya

Oleh: Fahmi Fatkhurozi

I. Masyarakat Transisi
Runtuhnya rezim orde baru yang represif dan cenderung otoriter pada tahun 1998 telah membuka lembaran kehidupan baru bagi bangsa ini, bangsa yang tadinya di hegemoni oleh tirani kekuatan militer yang membungkam dan melumpuhkan seluruh kekuatan politik yang ada kini telah tumbuh menjadi sebuah bangsa yang memberikan kebebasan bagi rakyatnya dalam semua aspek kehidupan, diantara kebebasan-kebebasan tersebut adalah kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat, dan lain sebagainya.
Perubahan tersebut tentu saja berdampak pada budaya masyarakatnya, perubahan tersebut mendorong masyarakat untuk berperan lebih aktif dalam menyikapi ataupun mengkritisi berbagai persoalan sosial-politik yang terjadi di negeri ini, mereka sudah tidak takut lagi di culik ataupun di bunuh seperti pada jaman orde baru ketika menyampaikan pendapat di muka umum, karena konstruksi pikiran mereka sudah berubah yang kemudian itu juga berdampak pada konstruksi sosial yang turut mengalami pergeseran dari masyarakat yang penakut menjadi masyarakat yang kritis dan pemberani. Hal tersebut dapat tercermin dari maraknya aksi demonstrasi yang di lakukan oleh masyarakat ketika ada sebuah permasalahan sosial, semua elemen masyarakat dari mulai mahasiswa, LSM, petani sampai kaum buruh akan turun ke jalan apabila ada suatu permasalahan yang merugikan mereka isu yang mereka angkatpun macam-macam dari mulai permasalahn mahalnya pendidikan, mahalnya harga sembako, kenaikan BBM, nasib buruh, sampai kasus yang sekarang menghebohkan seantero negeri yakni kasus penahanan bibit-candra oleh Polri. Namun demikian disini saya tidak akan terlalu membahas masalah aksi demonstrasi di jalanan karena bagi saya dan mungkin bagi kita semua itu adalah sesuatu hal yang sudah biasa dan menjadi pemandangan kita sehari-hari.

II. Dari Demonstrasi Jalanan Ke Demonstrasi Dunia Maya
Sesuatu hal yang lebih unik dan bahkan akhir-akhir ini sudah menjadi budaya masyarakat adalah terjadinya pergeseran pola pengkritisan masyarakat dari aksi jalanan dengan memobilisasi masa menjadi aksi protes lewat dunia maya. Pergeseran tersebut tentu saja merupakan sebuah dampak dari kemajuan tekhnologi informasi yang memungkinkan manusia untuk melakukan interaksi secara cepat dan mudah. Salah satu fasilitas tekhnologi informasi yang sekarang ini banyak di gunakan masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya adalah jejaring facebook. Melalui jejaring facebook yang memang merupakan media publik memungkinkan masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya secara terbuka yang bisa di lihat oleh khalayak umum. Biasanya pola yang di gunakan adalah dengan membuat sebuah ”group”, dimana ”group” tersebut biasanya menawarkan sebuah isu atau permasalahan yang sedang hangat di masyarakat. Salah satu contoh yang paling hangat adalah group ”gerakan 1.000.000 facebokers dukung bibit-chandra”, group tersebut ternyata begitu efektif dalam memobilisasi masyarakat untuk masuk di dalamnya, hasilnyapun sangat fantastis hanya dalam waktu 5 hari group tersebut sudah menyedot 500.000 faceboker’s untuk bergabung di dalamnya, bahkan sekarang ini angka tersebut sudah melebihi angka 1.000.000 faceboker’s. Ini tentu saja merupakan sebuah fenomena yang luar biasa, jumlah masa yang di mobilisasi lewat jejaring facebook ternyata melebihi jumlah masa ketika kita melakukan aksi demonstrasi di jalanan.

III. Budaya Demokrasi Ala Dunia Maya
Sesuatu hal yang lebih menarik, ketika aksi demonstrasi jalanan menyuguhkan kepada kita realitas pro dan kontra terhadap sebuah permasalahan, demonstrasi dunia maya juga menyuguhkan hal sama. ”Group” gerakan 1.000.000 faceboker’s dukung bibit-chandra” juga ternyata mendapatkan perlawanan dari orang-orang yang mendukung Polri dengan membentuk group ”gerakan 200.000.000 faceboker’s dukung POLRI”, hal ini tentu saja menambah gairah budaya berdemokrasi ala dunia maya, tidak jarang orang-orang yang masuk dalam group tersebut memberikan pernyataan-pernyataan yang cukup pedas dan memancing emosi pihak yang berseberangan. Bahkan pernah terjadi salah seorang aparat polri mendapatkan kritik pedas dari masyarakat dunia maya pendukung bibit-chandra karena pernyataanya yang cenderung provokatif dengan mengatakan bahwa ”Polisi tidak butuh masyarakat tapi masyarakatlah yang butuh Polisi”, lebih hebohnya lagi dampak dari pernyataan aparat polisi tersebut sampai ke dunia nyata, dimana aparat polisi tersebut mendapatkan teguran keras dari kesatuanya. Bagi saya kenyataan tersebut adalah sesuatu hal yang sangat luar biasa, karena ternyata facebook telah mampu menjelma menjadi sebuah media publik raksasa yang memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menyampaikan ide, gagasan, bahkan kritikan terhadap sebuah permasalahan sosial-politik yang terjadi di negeri ini. Jejaring facebook juga telah mengajarkan kepada masyarakat kita budaya berdemokrasi yang terbuka dan bertanggungjawab dan ini bisa menjadi salah satu media yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di negeri ini.

MAKNA SEBUAH KESUKSESAN DI TENGAH PERADABAN MATERIALISTIS

Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Rasa dilema dan resah lah yang pada akhirnya menggerakan saya untuk menggoreskan apa yang terjadi di lingkungan masyarakat kita dan kegundahan perasaan saya terhadap apa yang terjadi tersebut ke dalam sebuah tulisan ringan yang mungkin bagi sebagian orang tulisan ini adalah sesuatu hal yang konyol karena terlalu melawan arus realitas yang terjadi di masyarakat, dan secara jujur saya pun masih di dera rasa dilema ketika harus memikirkan hal ini.
Keinginan untuk menuliskan unek-unek saya ini semakin menguat ketika saya menonton sebuah film di layar televisi, saya lupa judulnya apa, tapi jalan cerita dalam film tersebut masih sangat kuat teringat dalam otak saya, karena bagi saya film tersebut sangat mewakili apa yang terjadi dalam masyarakat kita dan juga pada diri saya. Film tersebut menceritakan tentang idealisme seorang sarjana tekhnik (arsitek) yang berasal dari kampung di pinggiran kota jakarta yang ingin mendedikasikan apa yang dia miliki untuk mengajar di sebuah SD yang sangat sederhana yang bernama SD “Perintis Bangsa”. SD tersebut merupakan sebuah SD yang di peruntukan untuk menampung dan mendidik anak-anak yang tidak mampu, tidak seperti sekolah pada umumnya, anak-anak didik yang sekolah di SD tersebut juga tidak mengenakan seragam sekolah dan sepatu, biaya operasional SD tersebut sebagian besar juga di tanggung oleh salah satu guru dari 3 guru yang mengajar disitu. Kesederhanaan dari SD tersebut sama sekali tidak menawarkan materi dan kesuksesan dunia lainya. Jadi bisa di katakan guru-guru yang mengajar di SD tersebut adalah guru yang memiliki dedikasi yang tinggi terhadap pendidikan, mereka sama sekali tidak berfikir tentang materi karena mereka sadar dengan sepenuh hati bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah bentuk pengabdian bukan sebuah profesi yang berorientasi pada profit. Namun, apa yang di lakukan oleh salah seorang guru yang sarjana tekhnik tersebut ternyata mendapatkan pertentangan yang kuat oleh orang tuanya sendiri, Sang orang tua yang merasa telah banyak berkorban untuk menyekolahkan anaknya hingga menjadi seorang arsitek menginginkan anaknya tersebut menjadi seorang pegawai kantoran, karena ukuran kesuksesan setelah kuliah dalam pandangan orang tuanya tersebut adalah ketika sang anak bisa bekerja di kantor besar dan mendapatkan gaji yang besar, atau dengan kata lain ketika anaknya yang seorang arsitek tersebut bekerja sebagai seorang guru SD maka sang orang tua menganggap anaknya tidak berhasil. bahkan dari masyarakat sekitar juga banyak yang mempertanyakan pilihan hidup sang sarjana tekhnik tersebut yang dianggap bukan merupakan sebuah cerminan kesuksesan dari seorang sarjana, karena dalam pandangan masyarakat seorang sarjana harusnya bekerja di kantoran bukan sebagai guru SD. Pertentangan antar orang tua dan anak tersebut semakin kuat karena sang anak yang seorang arsitek tersebut lebih memilih untuk mengabdikan dirinya sebagai seorang pengajar di sekolah dasar yang sangat sederhana tersebut padahal panggilan-panggilan kerja dari kantor besar juga sering dia terima, walaupun memang pada akhirnya sang orang tua merestui pilihan anaknya tersebut.
Dari sedikit penggalan cerita dalam film yang saya ceritakan diatas dapat di ambil sebuah kesimpulan bahwa sebagian besar masyarakat kita dan mungkin juga orang tua kita ternyata mengukur sebuah kesuksesan dari sudut pandang yang terlalu sempit yakni “materi”, seakan-akan orang dikatakan sukses ketika dia memiliki posisi yang bagus dalam sebuah perusahaan besar ataupun di instansi-instansi pemerintahan, gaji besar, berdasi, punya mobil mewah dan ukuran-ukuran materil lainya. Bagi saya kondisi tersebut merupakan sebuah penyakit dan malapetaka yang terjadi di masyarakat kita, karena kondisi yang seperti itu akan memunculkan suatu penyakit sosial seperti yang dikatakan oleh Rasulullah yakni penyakit ubbud dunia (cinta dunia), ketika penyakit ini sudah menjalar dan mengakar kuat di masyarakat maka yang akan terjadi adalah terlahirnya manusia-manusia egois yang mengagung-agungkan kemewahan dunia, dan manusia-manusia tersebut akan selalu menilai sesuatu dari sudut pandang material, termasuk dalam hal kesuksesan hidup seperti yang saya kemukakan diawal.
Saya akan mencoba mengantarkan anda semua ke dalam jalan fikiran saya dengan sebuah ilustrasi sederhana, misalkan dalam sebuah masyarakat ada dua orang yang menjadi fokus kita, pertama orang tersebut adalah seorang direktur utama di sebuah perusaha berskala nasional, waktu hidupnya ia habiskan untuk bergelut dengan dunia bisnis yang memberikan banyak kemewahan bagi hidupnya, dengan posisinya tersebut ia bisa memiliki rumah yang sangat mewah, mobil, gaji yang besar, dll. Dan yang kedua adalah seorang yang sangat bersahaja yang berprofesi sebagai seorang guru di sebuah desa terpencil, dia tidak memiliki rumah, kendaraanya hanya sebuah sepeda butut, dan gajinyapun tidak seberapa (hanya cukup untuk makan). Namun, ia memiliki keinginan yang sangat besar untuk membangun sebuah peradaban dengan mengajarkan anak-anak di desa tersebut ilmu pengaetahuan. Dari ilustrasi tersebut ketika saya bertanya kepada anda semua, kira-kira dari dua orang tersebut mana yang anda sebut sebagai orang ”sukses”?. Kalau saya yakin sebagaian besar masyarakat kita akan menilai bahwa orang pertamalah yang di sebut sebagai orang sukses, karena memang citra orang sukses yang melekat dalam benak sebagaian masyarakat adalah yang seperti itu, sedangkan untuk orang yang kedua adalah orang yang hanya akan mendapatkan rasa iba dan belas kasihan dari masyarakat meskipun ia memiliki dedikasi yang besar terhadap pendidikan, namun itu tidak di nilai sebagai sebuah kesuksesan.
Hal ini lah yang kemudian menjadi permasalahan dan penyakit di masyarakat kita, sebuah penilaian yang sangat sempit akan makna sebuah ”kesuksesan”. Karena saya pikir makna ”sukses” tidak selalu harus di ukur dengan materi, karena satu hal yang lebih penting dari sekedar materi yakni ”dedikasi”, makna inilah yang terkadang diabaikan oleh sebagian besar masyarakat kita, entah apakah ini karena perdaban materialistis yang sudah semakin mengakar kuat di masyarakat atau bagaimana sayapun kurang tahu, tapi yang jelas ini adalah gejala dimana masyarakat sudah semakin di butakan dengan dunia.
Rosulullah dan sahabat-sahabatnya mengajarkan kepada kita bagaimana menghargai seseorang di lihat dari dedikasinya bukan dari materi yang dimilikinya. Misalkan suatu hari rosulullah mengatakan bahwa sebentar lagi akan datang seorang ahli surga, dan tanpa di sangka-sangka seorang ahli surga yang di maksud oleh rosulullah bukanlah seorang pejabat ataupun seorang kaya raya, melainkan seorang anak muda miskin yang telah dengan ikhlas menggendong ibunya dari negeri syam menuju madinah untuk bertemu rosulillah, ini adalah sebuah bukti bahwa rosulullah dalam memandang seseorang lebih di tekankan pada kebaikan apa yang telah ia lakukan bukan apa yang ia punya, meskipun kebaikan tersebut dianggap kecil bagi sebagian orang.
Saya kira kita harus lebih jernih dalam menilai sebuah ”kesuksesan” agar kita tidak terjebak dalam sebuah sudut pandang akan makna ”kesuksesan” yang sempit yakni ”materil”. Karena kalau kita melihat secara jernih makna kesuksesan maka sesungguhnya banyak orang-orang sukses yang ternyata dipandang sebagai orang yang tidak sukses oleh masyarakat karena kehidupanya yang miskin. Guru-guru ngaji di pelosok kampung yang mengajarkan kebaikan kepada masyarakat sekitarnya merupakan orang-orang sukses yang membangun perdaban dengan ilmu agamanya, guru-guru miskin di pedalaman-pedalaman yang mencoba mengajarkan anak-anak suku pedalaman untuk membaca merupakan guru-guru yang sukses dalam hal pendidikan, seorang sukarelawan yang dengan ikhlas mendidikasikan dirinya untuk menolong korban-korban bencana alam merupakan orang yang sukses dalam hal kemanusiaan, masyarakat adat dengan kesederhanaan dan budayanya yang berusaha untuk menjaga kelestarian alam merupakan masyarakat yang sukses dalam menjaga kelestarian alamnya, namun secara umum mereka dipandang sebagai orang-orang yang tidak sukses oleh sebagian besar masyarakat karena kemiskinanya dan ketidakberdayaanya dalam hal ekonomi, padahal kebaikan-kebaikan mereka jauh lebih nyata dari para politisi yang berkoar-koar tentang perjuangan atas nama rakyat namun dalam kenyataanya malah justru semakin menyiksa rakyat dengan kebijakan-kebijakanya. Lantas manakah yang lebih sukses antara politisi dengan orang-orang yang saya sebutkan di awal kalau di lihat dari sisi dedikasi bagi kebaikan dan perbaikan masyarakat?, saya kira kalau otak kita masih waras maka sungguh terlihat jelas mana yang lebih pantas untuk dikatakan sebagai orang sukses.
Dari sinilah kemudian kita perlu membuka mata bahwa ternyata banyak orang-orang sukses di sekitar kita, walaupun secara ekonomi mereka terbatas namun semangat untuk mendedikasikan dirinya bagi perbaikan dan kebaikan masyarakat merupakan sebuah ukuran kesuksesan yang lebih nyata dari pada sekedar ”materi” dan tanpa di sadari juga kita sering menganggap mereka hanya sebagai orang-orang yang perlu mendapatkan rasa iba dan belas kasihan bukan sebagai orang yang perlu mendapatkan penghormatan dan pengahagaan karena kesuksesanya dari sisi dedikasi sosialnya. Kita lebih memilih orang-orang kaya yang egois secara sosial namun secara materi terlihat begitu mengagumkan sebagai orang-orang yang dianggap ”sukses”. Dari pernyataan saya tersebut bukan berarti saya membenci orang kaya dan melarang anda untuk menjadi orang kaya, karena pada dasarnya islam juga mengajarkan kepada ummatnya agar menjadi orang yang kaya. Pernyataan saya tersebut lebih kepada sebuah upaya untuk membuka mata kita semua bahwa sesungguhnya dalam menilai sebuah ”kesuksesan” ukuranya bukanlah di lihat dari ”materi”, tapi lihatlah dari dedikasi atau apa yang telah ia perbuat untuk kebaikan dan perbaikan masyarakat, pundi-pundi amal shaleh sosial itulah yang seharusnya di jadikan sebagai sebuah standart untuk mengukur apakah seseorang itu pantas di katakan ”sukses” atau tidak

Pengembangan Industri Berbasis Local Genius Society

Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Bangsa indonesia di kenal sebagai sebuah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang sangat luar biasa, hal tersebut di karenakan bangsa indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang tentu saja memiliki corak budaya yang berbeda satu sama lain. Kenaekaragaman tersebut sebenarnya merupakan suatu anugerah dan potensi tersendiri bagi bangsa indonesia untuk maju dengan mengedapankan aspek budaya lokal sebagai salah satu icon-nya. Karena pada dasarnya budaya-budaya yang ada dalam bangsa indonesia memiliki kelebihanya masing-masing. Misalkan, di pekalongan sebagian besar masyarakatnya memiliki kemampuan untuk mengerajin batik, hal tersebut mengindikasikan bahwa kota pekalongan memiliki batik sebagai identitas budaya masyarakatnya. Atau misalkan di Tegal, berdasarkan hasil penelitian yang saya lakukan di Tegal sebagian besar masyarakat di suatu kawasan di daerah Tegal memiliki keahlian dalam mengerajin logam, dari situlah kemudian Tegal bisa di kenal sebagai Japan-nya indonesia karena kemampuan masyarakatnya dalam mengerajin logam, hal tersebut juga sekaligus menegaskan bahwa Tegal memiliki sebuah identitas budaya masyarakatnya yakni budaya dalam mengerajin logam. Atau juga di cirebon, dimana sebagaian besar masyarakatnya di suatu wilayah memiliki kemampuan dalam mengerajin rotan, kemampuan itulah yang kemudian menjadi ciri khas atau identitas budaya masyarakat cirebon sebagai salah satu masyarakat yang pandai dalam mengerajin logam. Inilah yang kemudian saya sebut sebagai ”local genius society” yang merupakan salah satu aset budaya yang apabila di kembangkan secara baik maka akan menjadi sebuah potensi bagi pembangunan ekonomi masyarakat sekitar.
Aspek pemberdayaan merupakan sesuatu hal yang paling menonjol ketika kita mampu untuk mengembangkan budaya-budaya masyarakat lokal ini sebagai sebuah industri yang berbasis ”local genius society”. Hal tersebut di karenakan aspek yang pertama kali di sentuh dalam pengembangan industri berbasis local genius society ini adalah aspek ketrampilan masyarakat dalam mengelola sesuatu dan itu berangkat dari budaya mereka sendiri bukan sesuatu hal yang datangnya dari luar sehingga masyarakatpun akan lebih merespon positif terhadap pengembangan industri tersebut. Berbeda ketika pengembangan industri itu di lakukan dalam bentuk investasi oleh pemilik modal, biasanya kalau pengembangan industri dengan model seperti itu yang terjadi adalah masyarakat sekitar hanya akan menjadi bangsa kuli bukan bangsa yang trampil dan mampu untuk berdiri sendiri dengan kemampuan yang di miliki.
Potensi-potensi seperti inilah yang seharusnya menjadi fokus pengembangan industri oleh pemerintah pusat dan daerah, karena dari sinilah kemandirian masyarakat akan terbangun secara perlahan-lahan karena semuanya berangkat dari budaya masyarakat itu sendiri. Hal tersebut juga bisa dijadikan sebagai sebuah solusi bagi pemerintah daerah dalam mengatasi permasalahan kemiskinan dan pengangguran di daerahnya, karena kemampuan dan ketrampilan masyarakat tersebut akan membuka peluang bagi aktivitas ekonomi masyarakat. Tidak seperti kemarin yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan dana BLT yang kalau menurut saya sama sekali tidak memiliki nilai education terhadap masyarakat, malah justru hal tersebut menjadikan masyarakat indonesia sebagai masyarakat yang lemah dan tidak mandiri (bergantung). Kemiskinan itu terlahir karena ketidakmampuan masyarakat untuk merubah nasibnya, nah ketika kita berbicara masalah ketdakmampuan masyarakat berarti yang kita bicarakan adalah masalah rendahnya ketrampilan, ilmu, dan pengetahuan masyarakat bukan masalah uang 300 ribu/ 3 bulan untuk makan, karena itu sama sekali bukan suatu kebijakan yang solutif. Oleh karena itu yang sebenarnya perlu di lakukan adalah menggali ”local genius” dari masyarakat sekitar yang berangkat dari budaya mereka sendiri yang itu bisa di jadikan sebagai potensi untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat sekitar, karena saya yakin setiap daerah pasti memiliki identitas budaya yang khas dan berpotensi secara ekonomi.
Hasil riset saya tentang industri logam di Kabupaten Tegal menunjukan bahwa pembangunan industri yang di dasarkan pada local genius dari masyrakat setempat ternyata dapat menggairahkan aktivitas ekonomi masyarakat sekitar dan memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan industri daerah terutama dalam rangka menjadikanya sebagai salah satu industri yang berdaya saing. Pernyataan saya tersebut di dukung dengan beberapa data temuan saya di lapangan yang di lihat dari beberapa aspek seperti perkembangan jumlah unit usaha, tenaga kerja yang di serap, nilai investasi dan produksi. Dari hasil riset yang saya lakukan semua aspek tersebut ternyata menunjukan tren perkembangan yang terus meningkat. PERTAMA di lihat dari dari perkembangan jumlah unit usaha, pada tahun 2005 terdapat 7 unit usaha berskala menengah dan 7552 unit usaha berskala kecil, di tahun 2006 mengalami peningkatan menjadi 11 unit usaha berskala menengah dan 7620 unit usaha berskala kecil, selanjutnya pada tahun 2007 kembali mengalami peningkatan yakni 13 unit usaha berskala menengah dan 7650 unit usaha bersakala kecil, demikian yang terjadi pada tahun 2008 dimana jumlah unit usaha kembali mengalami peningkatan yakni 13, 81 unit usaha berskala menengah dan 8185, 50 unit usaha berskala kecil. KEDUA di lihat dari aspek tenaga kerja yang di serap, Di tahun 2005 industri logam berskala menengah memiliki sekitar 302 tenaga kerja dan yang berskala kecil memiliki 37.081 tenaga kerja, pada tahun 2006 mengalami peningkatan menjadi 360 tenaga kerja pada industri berskala menengah dan 37.353 tenaga kerja pada industri berskala kecil, selanjutnya pada tahun 2007 kembali mengalami peningkatan yakni 548 tenaga kerja untuk industri berskala menengah dan 38.250 tenaga kerja untuk industri berskala kecil, demikian juga yang terjadi pada tahun 2008 dimana jumlah tenaga kerja kembali mengalami peningkatan yakni 586,36 tenaga kerja untuk industri yang berskala menengah dan 40.927,50 tenaga kerja untuk industri berskala kecil. KETIGA di lhat dari nilai investasi, Pada tahun 2005 nilai investasi untuk unit usaha berskala menengah mencapai 13.028,70 (106) dan untuk unit usaha berskala kecil mencapai 110.006,19 (106), di tahun 2006 mengalami peningkatan menjadi 13.549,84 (106) untuk unit usaha berskala sedang dan 115.989.00 (106) untuk unit usaha berskala kecil, selanjutnya pada tahun 2007 kembali mengalami peningkatan yakni 14.328.50 (106) untuk unit usaha berskala menengah dan 117.006.90 (106) untuk unit usaha berskala kecil, demikian juga yang terjadi pada tahun 2008 dimana nilai investasi dari unit usaha yang ada kembali mengalami peningkatan, yakni 15.331,50 (106) untuk unit usaha berskala menengah dan 125.197,38 (106) untuk unit usaha berskala kecil. KEEMPAT di lihat dari nilai produksi, Pada tahun 2005 nilai produksi untuk unit usaha berskala menengah mencapai 15.680.13 (106) dan untuk unit usaha berskala menengah nilai produksinya mencapai 128.789.00 (106), di tahun 2006 mengalami peningkatan nilai produksi yakni 16.307.34 (106) untuk unit usaha berskala menengah dan 135.229.00 (106) untuk unit usaha berskala kecil, selanjutnya pada tahun 2007 kembali mengalami peningkatan nilai produksi yakni, 17.205.25 (106) untuk unit usaha berskala menengah dan 140.667.00 (106) untuk unit usaha berskala kecil, demikian juga yang terjadi pada tahun 2008 yang kembali mengalami peningkatan nilai produksi yakni 18.409,62 (106) untuk unit usaha berskala menengah dan 150.513,69 (106) untuk unit usaha berskala kecil. (sumber: Disperindag Kabupaten Tegal Tahun 2006-2008).
Data-data diatas menunjukan bahwa ketika potensi budaya masyarakat di suatu daerah, dalam hal ini adalah budaya masyarakat Tegal dalam mengerajin logam mendapatkan perhatian dan dukungan yang serius dari pemerintah daerah maka hal tersebut akan bisa di jadikan sebagai salah satu aset budaya sekaligus aset ekonomi bagi pembangunan daerah yang berangkat dari budaya masyarakat setempat. Selama ini pemerintah daerah Kabupaten Tegal juga memberikan dukungan yang luar biasa besar terhadap pengembangan industri logam, hal ini di dasari dari kesadaran pemerintah daerah yang dapat melihat dengan jeli potensi yang ada dalam masyarakat Tegal. Bentuk-bentuk dukungan tersebut antara lain dalam penyediaan sarana dan prasarana guna mendukung aktivitas produksi dan pemasaran dengan di dirikanya UPTD LIK (lingkungan industri dan UPTD Laboratorium Uji Material Dan Machine Shop, UPTD-UPTD tersebut menyediakan berbagai fasilitas yang di butuhkan IKM semisal peralatan-peralatan modern dengan harga mahal yang tidak bisa di jangkau oleh IKM namun sangat di butuhkan oleh IKM, klinik-klinik konsultasi seperti konsultasi bisnis dan Haki, fasilitas pemasaran seperti showroom dan market centre. Selain dukungan dalam bentuk fasilitas pemerintah daerah juga selalu berusaha berperan aktif dalam melakukan berbagai kegiatan dalam rangka pengembangan industri logam tersebut seperti mengadakan pelatihan atau mengirimkan IKM logam untuk mengikuti pelatihan, bersama-sama dengan IKM melakukan riset market untuk menemukan pasar yang berkualitas yang dapat mendukung perkembangan industri logam, dan juga membentuk kelompok-kelompok usaha bersama seperti KUB (kelompok usaha bersama) dan SIM (Supporting Industri Manufacture) sebagai sebuah upaya untuk mensinergiskan bisnis antar pelaku usaha.
Mudah-mudahan hasil penelitian saya tersebut bisa dijadikan sebagai bahan referensi bagi pemerintah khususnya pemerintah di daerah untuk mencoba mengembangkan dengan serius setiap budaya masyarakat yang memiliki potensi untuk di jadikan sebagai sebuah industri daerah. Karena seperti yang saya kemukakan di awal bahwa hal tersebut akan benar-benar mampu untuk menggairahkan aktivitas ekonomi masyarakat dan memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan industri daerah terutama dalam rangka menjadikanya sebagai salah satu industri yang berdaya saing.

12-08-09 Pukul 22.00 WIB; Ekspresi Kemerdekaan dari Sudut Kampoeng GRENDENG….

Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Malam itu dengan rasa kantuk yang menggelayuti mata, saya pergi keluar kostn untuk sekedar mencari minuman sebagai pengusir rasa kantuk karena memang pada malam itu saya sedang lembur untuk menyelesaikan hasil skripsi, jadi walaupun sudah ngantuk tapi saya harus tetap paksakan untuk melek. Ya begitulah nasib orang yang sedang nggarap skripsi.., gerutu saya dalam hati. Namun, seketika saya terkejut menyaksikan suasana malam di luar kostn, karena memang suasana malam hari ini terasa sangat berbeda dari hari biasanya, suasananya terlihat sangat ramai dengan banyaknya orang-orang yang sedang berkumpul, padahal pada saat itu waktu sudah menunjukan pukul 22.00 WIB, yang biasanya masyarakat sekitar sudah pada tertidur lelap. Selidik punya selidik setelah saya bertanya dengan salah seorang masyarakat disitu, ternyata malam itu warga sekitar sedang mempersiapkan diri untuk menyambut hari kemerdekaan RI pada tanggal 17 agutus nanti. Wah luar biasa ya.., pedahal kan tanggal 17nya masih 1 mingguan lagi tapi udah rame kayak gini, gimana nanti pas hari-H nya. Tiba-tiba sdikit rasa malu menghampiri perasaanQu soalnya kalau di kampoengQu perayaan hari kemerdekaan itu nggak serame disini, malahan dulu pernah nggak ada perayaan spesial sama sekali, cuman pasang=pasang bendera aja. He..he.., gimana iki pak RT, masa 17 agustusan sepi kegiatan mulu.
Melihat suasana yang ramai kayak gitu, akhirnya saya memutuskan untuk menikmatinya dulu sebentar sebelum balik ke kamar kost dan mulai di sibukan dengan skripsi yang semakin lama semakin menjenuhkan. Dari kegelapan terlihat ibu-ibu yang sedang latihan gerak jalan dengan penuh semangat walaupun dari beberapa ibu-ibu tersebut terlihat menahan hawa dingin yang menusuk kulit dengan memakai jaket tebal. Suasana semakin meriah karena latihan gerak jalan ibu-ibu tersebut di iringi alunan musik kentongan (musik tradisional banyumas) yang dimainkan oleh bapak-bapaknya, namun ada yang berbeda dengan musik kentongan kali ini, karena alat musiknya bukan hanya pakai kentong saja tapi juga ada yang pakai ember, panci sehingga alunan nada yang di hasilkanpun tersa begitu ramai terdengar di telinga. Sementara bapak dan ibunya lagi berlatih kentongan dan gerak jalan, anak-anak kecilnya juga nggak mau kalah, mereka menambah hangat suasana malam itu dengan berjoged-joged sesuai dengan irama yang di hasilkan oleh alat musik kentongan tersebut. Weleh-weleh makin mantep aja nie pertunujukan gratis yang aku saksikan malam ini, puji saya dalam hati.
Saya pikir apa yang aku saksikan malam hari ini adalah sebuah ekspresi kemerdekaan dan kecintaan dari sebagian masyarakat grendeng terhadap indonesia, sebuah ekspresi yang tulus dengan harapan agar indonesia kedepan bisa lebih baik. Mereka adalah masyarakat yang cinta terhadap negerinya, walaupun secara pribadi hidup mereka belum meredeka sepenuhnya, mereka belum merdeka secara ekonomi, pendidikan, pekerjaan, dll karena saya sendiri masih menyaksikan dengan mata dan hati saya sendiri mereka masih harus tetap berjibaku dengan kehidupan yang semakin sulit dan keras, sulit karena harga semabako yang terus naik, sulit karena biaya pendidikan yang mahal, dan sulit karena susahnya mendapat pekerjaan yang layak. Saya kira ini adalah pesan bagi para penguasa di negeri ini bahwa betapa besar kecintaan mereka terhadap indonesia, dan sudah saatnyalah mereka (rakyat indonesia) di berikan kesejahteraan yang layak agar mereka juga bisa merasakan dan merayakan kemerdekaan indonesia dengan senyatanya, bukan sebuah kemerdekaan yang palsu yang di bungkus dengan pesta-pesta rakyat tersebut. Sudah terlalu lama rakyat indonesia menunggu kehidupan yang damai dan sejahtera ditengah penderitaan yang terus mendera mereka, kemerdekaan indonesia dan kesejahteraan rakyat adalah hal yang mutlak untuk di wujudkan, bukan dalam kata-kata tapi juga dalam kenyataan dan mudah-mudahan itu akan terwujud di usia indonesia yang sudah menginjak angka 64.

Tulisan ini saya buat sebagai refleksi kemerdekaan yang diangkat dari sebuah kisah yang sederhana namun kaya akan makna.

AKSI DEMONASTRASI MAHASISWA UNSOED; SEJARAH ITU TERULANG KEMBALI...

Oleh: Fahmi Fatkhurpzi

Hari ini, rekan-rekan mahasiswa unsoed yang tergabung dalam aliansi BEM se-Unsoed kembali turun ke jalan untuk melakukan Aksi demonstrasi memprotes salah satu bentuk komersialisasi pendidikan yang di lakukan oleh pihak kampus yakni BOPP. Aksi demonstrasi tersebut berlangsung ditengah pelaksanaan registrasi calon mahasiswa baru UNSOED sehingga suasanapun terlihat menjadi lebih ramai walaupun yang ikut aksi demonstrasi cuman beberapa orang saja. Militansi dari rekan-rekan mahasiswa terlihat jelas ketika berusaha untuk mendesak rektor UNSOED agar turun dari persinggahanya untuk menemui dan berdialog dengan mahasiswa, namun ternyata dari pihak rektorat malah justru menyatakan bahwa rektor tidak bisa menemui mahasiswa karena ada rapat. Kondisi tersebut memancing kemarahan dari mahasiswa karena memang kejadian tersebut bukan hanya terjadi pada saat aksi demonstrasi hari ini saja, namun di semua aksi yang pernah terjadi di Unsoed, rektor selalu tidak mau menemui mahasiswanya. Akhirnya aksi dorong-mendorong dengan keamanan kampuspun tidak bisa terelakan, Suasana semakin memanas karena ternyata dari pihak kemanan kampuspun banyak yang tidak bisa mengendalikan emosinya dengan baik sehingga beberapa mahasiswa banyak yang terjatuh karena dorongan dari keamanan kampus. Suasana mulai mereda ketika mahasiswa mulai menurunkan tempo gerakanya, dan akhirnya karena menyadari apa yang di inginkan telah menemui jalan buntu, rekan-rekan mahasiswa memilih untuk melakukan aksi simbolik dengan membakar poster-poster yang dibawa dan melepaskan almamater mereka sebagai sebuah simbol penolakan komersialisasi pendidikan di kampus UNSOED.
Kondisi yang terjadi hari ini mengingatkan saya dengan beberapa perjuangan yang sudah di lakukan oleh rekan-rekan mahasiswa di UNSOED sebelumnya, semuanya hampir berakhir seperti itu, cuman aktornya saja yang berubah. Sejarah perjuangan mahasiswa di UNSOED belum pernah mencatat kemenangan mahasiswa dalam menghadapi kedigdayaan pihak birokrasi kampus. Rektor selalu tidak mau menemui mahasiswa dan mahasiswapun selalu pulang dengan tangan kosong, hal seperti itulah yang selalu menejadi akhir dari cerita aksi demonstrasi mahasiswa di UNSOED. Namun saya kira ini bukanlah merupakan sebuah kegagalan bagi gerakan mahasiswa malah justru hal ini adalah momentum untuk kembali membangkitkan gerakan mahasiswa UNSOED yang telah lama tertidur. selain itu, kejadian hari ini juga paling tidak bisa membuka mata kita semua bahwa ternyata birokrasi kampus di UNSOED sangat susah untuk di sentuh, jangankan untuk di sentuh untuk di dekati saja terasa sangat sulit.

DI UJUNG PENANTIAN....; Sebuah Persembahan Untuk Anak-anak AN Angkatan 2005

Masa Depan Kita Di Mulai Hari ini, Bukan Besok....
(Fahmi Fatkhurozi)

Sesungguhnya setiap orang ber hak atas sebuah kesuksesan hidup, karena memang pada dasarnya semua orang memiliki kesempatan untuk menjadi sukses. Namun, perlu di sadari oleh kita semua bahwa proses untuk mencapai sebuah kesuksesan hidup adalah Big Competition (kompetisi besar) yang mengikutsertakan banyak orang dan hanya orang-orang yang mau berusaha secara sungguh-sungguh dan berjiwa optimis yang akan mampu meraih kesuksesan hidup tersebut, bukan para pemalas yang hanya bermimpi ingin menjadi sukses tapi tidak di sertai dengan usaha yang sungguh-sungguh.
Bagi orang-orang yang menginginkan kesuksesan maka waktu bagi dia adalah sangat berharga, mungkin mereka memaknai waktu seperti yang di katakan oleh Ali Bin Abi Tholib bahwa ”waktu adalah pedang”, sehingga kita harus lihai dalam memainkanya, karena kalau tidak justru kita yang akan terluka karenanya. Sayid Quthb juga mengatakan bahwa kebiasaan para pahlawan/pemenang adalah mereka yang berfikir lebih cepat daripada orang biasa, bekerja sebelum orang lain bekerja, beraktivitas lama daripada orang biasa, mengurangi jam-jam santainya, menyedikitkan waktu tidurnya, dan memberdayakan semuanya karena bagi seorang pahlawan/pemenang hidup adalah rangkaian dari prestasi ke prestasi untuk meraih kesuksesan hidup. Begitulah cara pandang orang-orang sukses dalam memaknai waktu hidupnya, apakah kita termasuk di dalamnya?, saya kira hanya kita sendiri yang bisa mengukurnya sejauhmana kita mampu mengoptimalkan waktu yang kita miliki untuk merangkai serpihan-serpihan kesuksesan tersebut menjadi sebuah kesuksesan yang sempurna.
Kawan-kawan AN 05 kita telah melalui kehidupan di kampus ini dengan sejuta cerita, banyak sejarah yang sudah kita torehkan bersama dengan senyum dan air mata, dengan semangat dan rasa cinta, dan dengan kebersamaan dan kerjsama, semua itu adalah prestasi tersendiri bagi kita sebagai mahasiswa administrasi negara angkatan 2005. Namun, batas waktu kita di kampus ini semakin terbatas kawan, proses hidup kita di kampus sudah hampir selesai, dan kehidupan baru yang lebih riil juga sudah mulai nampak di depan mata, impian-impian kita sudah semakin dekat, dan sudah saatnyalah kita bergegas dengan semangat yang utuh untuk mulai menata langkah-langkah tersebut dengan sungguh-sungguh agar kelak kita bisa tersenyum dengan prestasi yang kita torehkan. Saya yakin kita semua adalah calon orang-orang sukses yang akan memberikan sentuhan warna bagi kehidupan kita sendiri dan juga kehidupan masyarakat dengan kemampuan yang kita miliki masing-masing. Keluarga kita, masyarakat, dan bangsa ini sudah menanti kehadiran kita dengan penuh harapan, sebuah harapan yang tentunya lebih baik dari hari ini dan kita adalah orang-orang yang akan membawa perubahan tersebut kawan.
Terakhir, mudah-mudahan hari esok kita akan kembali bertemu dengan kesuksesan-kesuksesan hidup yang sudah melekat dalam diri kita, dan mudah-mudahan sejarah yang sudah kita torehkan bersama tidak hanya menjadi cerita-cerita tanpa makna, namun lebih dari itu sejarah yang sudah kita torehkan bersama tersebut akan menjadi perekat tali persaudaraan kita, karena kita adalah satu keluarga yang terlahir dari sejarah yang sama.

Tulisan ini saya persembahkan untuk mahasiswa Administrasi Negara FISIP UNSOED Angkatan 2005 yang sekarang ini lagi pada sibuk ngurusin skripsi, mudah-mudahan skripsinya lancar semua....

DEMOKRASI PROLETAR KHAS ANGKRINGAN

Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Sederhana dan merakyat, itulah kesan pertama yang akan kita dapatkan ketika kita memasuki tempat yang bernama angkringan. Hal tersebut dapat tercermin dari tampilan luar tempat tersebut yang memang sangat sederhana, gerobag kayu, kursi kayu, lantai tanah, jajanan rakyat, dengan di terangi lampu remang-remang seakan menegaskan kesan kesederhanaan dan merakyat yang saya maksudkan.
Kesederhanaan ala rakyat kecil memang telah menjadi ciri khas dan identitas tempat nongkrong dan makan yang berasal dari klaten ini. Sebenarnya tampilan angkringan/warung HIKS dulu tidak seperti yang sekarang, karena kalau dulu yang namanya angkringan/warung HIKS itu di jajakan dari rumah ke rumah dan dari kampung ke kampung dengan membawa lampu templok yang membawa suasana remang-remang yang khas, namun seiring dengan perkembangan jaman kini tampilan angkringan/warung HIKS telah mengalami banyak perubahan, dari yang tadinya di jajakan dari rumah ke rumah menjadi menetap di suatu lokasi tertentu. Namun terlepas dari perubahan itu semua, satu hal yang tidak berubah dari warung makan angkringan atau kalau di jogja dan solo lebih di kenal dengan warung HIKS adalah budaya berdiskusi dan berdemokrasi ala rakyat proletar yang menjadi pelanggan tempat tersebut, karena memang dari dulu sampai sekarang angkringan atau warung HIKS menjadi salah satu media bagi rakyat kecil untuk bertukar pikiran atau juga membicarakan tentang keadaan sosial bahkan politik.
Suasana yang sama juga akan kita dapatkan di angkringan purwokerto, kalau anda tidak percaya, cobalah anda berkunjung sendiri, saya jamin anda pasti akan di suguhkan dengan budaya berdemokrasi yang khas dan unik yang di tampilkan oleh para proletar dan juga mahasiswa, mereka semua terlihat sangat menikmati suasana, makanan, minuman dan obrolan mereka tentang banyak hal, dari mulai tentang kampus sampai dengan permasalahan-permasalahan sosial-politik bangsa ini. Kalau anda mau mendapatkan pertunjukan yang lebih seru dan menarik, maka cobalah anda untuk lebih lama di tempat tersebut sampai larut malam karena memang suasana akan semakin hangat ketika malam sudah semakin larut, karena semakin malam semakin banyak para aktivis yang berdatangan untuk sekedar nongkrong, ngobrol atau juga menghabiskan malam dengan sisa-sisa energi yang dimiliki.
Bagi saya angkringan memang telah menjadi salah satu budaya bagi masyarakat, sebuah budaya yang mengajarkan kesederhanaan, kebersamaan, dan sikap kritis terhadap keadaan sosial-politik yang terjadi di negeri ini. Atau dengan kata lain, angkringan adalah rumah demokrasi bagi rakyat kecil yang ingin menyampaikan ide, gagasan, dan kritikan-kritikan atas permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam sebuah ruang diskusi publik ala proletar. Dan ini tentu saja merupakan sebuah media yang sangat bagus dan efektif sebagai sebuah upaya pembangunan masyarakat yang cerdas dan kritis terhadap segala permasalahan sosial-politik yang terjadi di negeri ini.