Rss Feed

Kejahatan Intelektual

KEJAHATAN INTELEKTUAL
Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Secara filosofi makna dari ‘hidup’ adalah ‘perubahan’, setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap bulan, setiap tahun kehidupan manusia selalu mengalami perubahan. Berubah dari masa kanank-kanak menjadi masa remaja, berubah dari masa remaja menjadi masa dewasa, berubah dari masa dewasa menjadi masa tua, sampai akhirnya dinamika kehidupan tersebut harus terhenti oleh kematian. Filosofi tersebut memberikan arti bahwa kehidupan manusia haruslah selalu dievaluasi bukan hanya sekedar untuk dijalankan, karena kehidupan yang tidak pernah dievaluasi tidak layak untuk dihidupi (sacorates). Proses mengevaluasi kehidupan merupakan karakter sejati dari seorang intelektual, karena seorang intelektual adalah mereka yang memiliki kepekaan dalam memaknai sebuah realitas, mereka yang memiliki mata untuk melihat realitas, mereka yang memiliki telinga untuk mendengar realitas, mereka yang memiliki hati untuk merasakan realitas dan mereka yang memiliki akal untuk memberikan solusi atas realitas yang menurut mereka bermasalah, karena menurut gramsci realitas adalah sesuatu hal yang perlu dicurigai dan karakter seorang intelektual adalah pribadi yang berpihak terhadap kaum yang tertindas (Baca: Intelektual Progresif).
Namun, sayangnya dinegeri ini ada semacam kesalahan pemaknaan dari makna sebuah intelektualitas oleh kebayakan intelektual sehingga yang terjadi adalah munculnya inteletual-intelektual yang buta akan realitas, tuli akan realitas dan keras hatinya. Entah apa yang kemudian menyebabkan permasalahan ini, tapi yang jelas ini sangat berkaitan erat dengan mental individu dan juga sistem pendidikan di negeri ini yang membentuk mental tersebut. Eko prasetyo mengatakan, bahwa pendidikan dinegeri ini dan juga dinegeri-negeri yang lain dibumi ini kerapkali melahirkan orang-orang pintar tapi tak ada nyali. Itulah yang kemudian mengantarkan para intelektual menjadi budak kekuasaan dan kekuatan modal. Keduanya memiliki kemiripan membuat penindasan jadi terasa berbau ilmiah.
Kondisi seperti ini jelas akan menjadi sebuah petaka besar bagi negeri ini, karena kedepan yang akan menjadi pelaku kejahatan di negeri ini bukan lagi orang-orang bodoh yang tidak berpendidikan namun orang-orang pintar yang berpendidikan tinggi. Bisa dipastikan skala kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang seperti ini juga akan semakin besar. Kalau orang-orang miskin yang tidak berpendidikan yang melakukan kejahatan pihak yang dirugikan dari kejahatan yang dilakukan tersebut paling-paling hanya satu dua orang, namun ketika orang-orang pintar yang berpendidikan yang melakukan kejahatan maka bukan lagi satu, dua, atau tiga orang yang dirugikan namun seluruh rakyat indonesia yang berjumlah kurang lebih 200 juta jiwa bisa terkena dampaknya.
Keterpurukan dan berbagai realitas memilukan yang terjadi di negeri ini setidaknya bisa memberikan suatu gambaran bahwa telah terjadi pengkhianatan seorang intelektual terhadap makna dari intelektualitas itu sendiri. Kasus lumpur lapindo sidoharjo oleh BAKRIE GROUP yang menenggelamkan kota sidoharjo, merusak lahan pertanian petani, merusak fasilitas-fasilitas pendidikan, menghancurkan rumah-rumah warga, dan mematikan denyut nadi perekonomian didaerah tersebut, berusaha untuk di tutupi dengan alasan bahwa itu adalah tragedi bencana alam bukan dari kesalahan manusia, padahal jelas-jelas bencana tersebut adalah kesalahan yang dilakukan oleh manusia akibat kesalahan dalam pengeboran. Kasus pencemaran lingkungan karena limbah yang mengandung kadar mercury tinggi oleh PT NEWMONT Minahasa yang mengakibatkan penyakit minamata pada masyarakat juga berusaha ditutup-tutupi dengan dalih bahwa yang mencemari perairan teluk buyat bukanlah PT NEWMONT, namun itu lebih disebabkan oleh masyarakat yang melakukan penambangan emas liar di daerah teluk buyat dengan menggunakan zat mercury dengan kadar yang tinggi. Di papua juga telah terjadi eksploitasi besar-besaran barang tambang tembaga dan emas oleh PT FREPORT yang mengakibatkan kerusakan alam papua yang begitu dahsyat namun tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Selain contoh-contoh diatas, tentunya masih banyak contoh-contoh lain kejahatan intelektual yang terjadi di negeri ini.
Begitu banyak kejahatan-kejahatan ilmiah yang dilakukan oleh para intelektual yang telah diperbudak oleh kekuasaan dan kekuatan modal, mereka (para intelektual) telah melacurkan dirinya untuk kekuasaan dan kekuatan modal serta mengabaikan makna dari intelektualitas yang mereka miliki. Saya yakin, sebenarnya mereka sangat memahami bahwa apa yang sebenarnya mereka lakukan selama ini adalah sebuah kesalahan dan mengingkari hati nuraninya sebagai seorang manusia apalgi sebagai seorang manusia yang terdidik. Namun, karena harta yang terlalu menggiurkan dan menjanjikan serta kekuasaan yang terlalu seksi maka mata, telinga, dan hati nurani mereka menjadi tertutup dan seakan tidak melihat, mendengar dan merasakan jeritan rakyat yang tertindas karena ulahnya tersebut.
Mungkin disini saya hanya ingin menyampaikan kepada orang-orang pintar dan cerdas yang belum beradab dan beretika untuk bisa memaknai makna dari intelektulitas yang mereka miliki. Makna dari intelektualitas dapat kita lihat secara jelas dari apa yang telah ditunjukan oleh beberapa tokoh intelektual terdahulu seperti Antonio Gramsci, Ali Syariati, Che Geuvara, Sayid Quthb, dan Lisa Luxemburg yang selalu bersama dan berpihak terhadap orang-orang yang tertindas. Mereka berusaha membangkitkan kembali spirit pergerakan dalam diri seorang intelektual. Mereka tidak sekedar melakukan analisa tetapi terlibat dalam gerakan perlawanan. Ujung dari kehidupan mereka adalah kematian yang tragis. Batas dari pengorbanan mereka adalah membuat poisi intelektual tidak lagi berjarak dengan penderitaan rakyat (Baca: Intelektual Progresif). Dan sekarang bangsa ini membutuhkan tangan intelektual untuk membasuh penderitaan rakyat dengan perlawanan. Dan mudah-mudahan kita akan menjadi bagian dari apa yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Amin…


Penulis Adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Jenderal Soedirman Angkatan 2005.

0 komentar:

Posting Komentar