Rss Feed

KRITIK SOSIAL UNTUK NEGERI PESAKITAN


ARMADA KRITIK SOSIAL
Kritik Dari Jalanan Untuk NegeriPesakitan
Oleh: Fahmi Fatkhurozi

Dari kejauhan terlihat sebuah kendaraan besar berwarna silver dengan garis biru yang terlihat sudah tidak terawat, dan seperti biasa saya menyambut kedatangan kendaraan tersebut dengan senyum dan tangan yang dilambaikan menendakan saya akan menaikinya, sang sopirpun memberhentikan kendaraanya tersebut tepat didepan saya, lalu saya segera bergegas menaiki kendaraan tersebut. Dan subhanallah, seketika saya terkejut melihat isi dari kendaraan tersebut, semuanya penuh sesak dengan manusia sampai-sampai buat gerak dan bernafas saja terasa begitu susah. Waduh saya harus duduk dimana nie, gerutu saya dalam hati. Namun, akhirnya dengan arahan dari kernet bus tersebut saya beranjak menuju ke bagian tengah dari kendaraan tersebut dan berdiri disitu karena memang saya sudah tidak kebagian kursi.
Huh.., sudah satu jam lebih saya berdiri sehingga kaki sayapun sudah mulai terasa capek apalagi ditambah udara yang begitu panas dan pengap membuat tubuh saya terasa lemas, sepintas saya melihat orang yang berada disamping saya, dia terlihat begitu menikmati tidur siangnya diatas kursi bus yang sedang melaju kencang, hmm dalam hati saya merasa iri sama dia, ingin rasanya merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang berada disamping saya tersebut. Sepintas, saya juga melihat kebelakang, dan subhanallah dibelakang saya juga ternyata banyak orang-orang yang mengalami nasib seperti saya menikmati perjalanan dengan berdiri seharian ditengah bus yang panas dan pengap. Walaupun terasa begitu tersiksa namun, saya tetap menikmati perjalanan saya karena kalau susah dirasakan dengan susah ya tambah susah, jadi ya mendingan saya nikmatin saja biar susahnya tidak terlalu dibawa perasaan, dan lagian bus ini kan satu-satunya kendaraan yang paling setia mengantarkan saya dalam menuntut ilmu ke kota purwokerto, jadi ya saya sudah kadung falling in love sama bus tersebut.
Setelah satu jam lebih 20 menit’an, terdengar suara “tek-tek” yang menandakan ada penumpang yang akan turun dari bus tersebut, dan alhamdulillah ternyata penumpang yang akan turun itu adalah orang yang berada disamping saya, seketika saya langsung memasang kuda-kuda untuk segera menempati kursi yang ditinggal orang tersebut.., setelah orang tersebut beranjak dari kursinya saya langsung menduduki kursi tersebut, dengan perasaan yang gembira saya mulai memanjakan mata saya yang sudah menahan kantuk sekian lama dengan memejamkanya untuk merasakan seperti apa yang orang tadi rasakan.
Bumiayu-bumiayu habiz, tidur saya pun terbangun oleh suara teriakan dari kernet bus tersebut yang memberikan tanda bahwa penumpang yang tujuanya bumi ayu sudah habis dan harus turun. Namun, bukan hanya itu saja yang membuat tidur saya terbangun, antrian pedagang asongan yang mulai memasuki bus yang saya tunggangi juga semakin membuat suasana jadi semakin ramai seperti pasar, ada yang menjajakan tahu aci kecil-kecil khas bumi ayu, ada yang menawarkan kacang rebus, minuman ringan, rokok, koran, lontong, bahkan ada juga yang menawarkan mainan tradisional anak-anak yang sudah mulai tergusur zaman, pokoknya lengkap deh. Dengan seksama saya memperhatikan beberapa orang dari pedagang-pedagang tersebut, terlihat wajah yang begitu lelah dan penampilan yang begitu lusuh namun tetap dengan sorot mata yang penuh dengan harapan, berharap agar barang daganganya tersebut bisa terjual sehingga mereka bisa mendapatkan untung untuk menghidupi keluarganya. Masya Allah, terkadang saya berfikir dan bertanya dalam hati “dengan keuntungan berjualan tersebut apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, memberikan gizi yang cukup, menyekolahkan anak-anaknya, dan segala kebutuhan hidup lainya”, padahal yang mereka jual cuman tahu aci, kacang, rokok, yang kalau dipikir-pikir untungnya tidak seberapa bahkan mungkin sangat kurang untuk bisa memberikan kehidupan yang layak bagi keluarganya. Namun, mereka tidak memperdulikan itu, mungkin bagi mereka yang terpenting adalah menjaga agar asap dapur rumah mereka tetap mengepul, sehingga walaupun sedikit hasilnya setiap harinya mereka tetap beraktivitas menacri nafkah dari bus ke bus, berlari-lari ditengah teriknya sang mentari, dan menjajakan barang daganganya tersebut ditengah hiruk-pikuk aktivitas manusia didalam bus.
“Tarik….” seketika terdengar suara tersebut dari kernet bus yang ada dibelakang yang memberikan tanda bahwa bus akan segera berangkat kembali, para pedagang-pedagang asonganpun mulai turun dari bus yang saya tumpangi untuk mencari bus lain yang sedang berhenti. Huh.., suasanapun jadi terasa lebih tenang, namun tidak begitu lama munculah 2 orang dengan penampilan lusuh dan rambut gimbal ala bob marley, yang satu membawa gitar dan satunya lagi membawa gendang yang terbuat dari paralon yang ditutup dengan karet ban bekas. Mereka mulai menyapa kami dengan kata-kata khas anak jalanan, namun tertata begitu rapi dan kaya akan nilai seni dan sastra, pokoknya nggak kalah lah sama anak-anak teater di kampus saya, bahkan menurut saya kata-kata yang mereka sajikan lebih natural karena berangkat dari apa yang mereka alami sendiri. Setelah mereka selesai berceloteh, mulailah mereka memainkan alat musik yang mereka pegang, dengan penuh penghayatan mereka mulai menyanyikan lagu-lagu jalanan kepunyaanya iwan fals, lagu pertama yang mereka nyanyikan adalah “wakil rakyat”, suara gendang rakyat dan gitar butut mulai memanjakan telinga saya dan penumpang yang lain, lagu-lagu yang mereka nyanyikan pun terdengar begitu indah dan memiliki makna yang dalam karena memang kebanyakan dari lagu-lagu yang mereka nyanyikan tersebut adalah lagu yang bertemakan kritik sosial, dan karena yang menyanyikan lagu tersebut adalah anak-anak jalanan menjadikan lagu tersebut terasa lebih natural dan menggigit bagi yang dikritik. Setelah semua lagu selesai mereka nyanyikan, salah seorang dari mereka kembali berceloteh lewat sebuah puisi yang dibawakanya dengan penuh ekspresi dan intonasi kata-kata yang tegas dan kaya akan makna sambil berkeliling di bus meminta sejumlah uang dari kami sebagi balasan dari karya seni alam yang luar biasa yang mereka tunujukan. Setelah mereka selesai, saya dan penumpang yang lain kembali disuguhkan sebuah karya sastra jalanan yang lain, seorang berbadan tambun dengan topi ala kabayan yang dikenakanya mulai hadir ditengah-tengah kami, matanya mulai menunjukan ekspresi dan gerakan-gerakan tubuhnya juga negitu menghayati apa yang akan dia perankan, dan mulailah sang seniman jalanan berbadan tambun ini membawakan seni teater monolognya, dalam perananya dia berbicara tentang banyak hal, dari mulai kemiskinan, pembangunan yang tidak merata, pemerintah yang korup, ketidakadilan, dll yang semua itu disampaikan melalui balutan kata-kata sastra jalanan yang indah dan alami. Sungguh, saya dibuat tercengang oleh pertunjukan tersebut, bulu kutuk saya dibuat merinding, dan kepala serta hati saya dibuat tertunduk untuk meresapi pesan-pesan moral dan sosial yang disampaikan oleh para seniman jalanan tersebut. Subhanallah.., sebuah maha karya agung yang terlahir dari jalanan yang membuka mata saya untuk melihat lebih objektif lagi kondisi bangsa yang sedang dirundung banyak masalah ini.
Setelah semua pertunjukan karya seni jalanan tersebut selesai, saya sedikit bermain-main dengan imajinasi saya dan membayangkan “Coba saja yang duduk di bus ini adalah para pejabat-pejabat negara yang menjadi objek dari apa yang seniman-seniman jalanan tersebut sampaikan”, kira-kira apa yang terjadi yah?. He.he…, saya tertawa kecil membayangkan apa yang saya pikirkan tersebut. Namun, terlepas dari itu semua, marilah kita memaknai setiap realitas yang kita lihat, dengar dan rasakan sebagai suatu pelajaran berharga bagi diri kita untuk bisa melihat secara objektif realitas tersebut dan memberikan sebuah solusi dari permasalahan yang ada dalam realitas tersebut sesuai dengan kapasitas kita masing-masing.
Terima kasih ya Tuhan karena hari ini engkau telah memberikan banyak pelajaran kepada saya lewat realitas sosial yang dipertunjukan secara langsung di dalam armada bus ini, bisiku lrih sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia tuhan tesebut sambil kembali menikmati perjalanan saya yang sudah hampir sampai di kota purwokerto.

Penulis Adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Angkatan 2005.

0 komentar:

Posting Komentar