Rss Feed

POTRET KELAM DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA

POTRET KELAM DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Oleh: Fahmi Fatkhurozi

”Saya ingin cucu saya pintar, karenanya saya larang ia sekolah”
(Margaret Mead)
”Orang miskin dilarang sekolah”(Eko prasetyo)

I
Dua pernyataan diatas saya kira dapat mewakili secara sungguh-sungguh dan jujur realitas dunia pendidikan kita saat ini. Membangun karakter manusia seutuhnya yang merupakan tujuan dari pendidikan nasional seakan hanya menjadi sebuah rumusan tertulis tanpa ada sebuah komitmen untuk kemudian merealisasikanya dengan membuat sebuah sistem pendidikan yang dapat mewujudkan tujuan tersebut. Pendidikan kita masih diragukan kemampuanya untuk mencerdaskan orang dan membangun karakter manusia seutuhnya serta mampu melepaskan belenggu masyarakat dari kemiskinan. Disisi lain, kaum miskin memang menjadi kaum terlarang untuk memasuki kawasan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Yang ada pendidikan hanya didesign dan hanya dapat diakses oleh kelas atas saja sedangkan kelas bawah tetap dalam ketertindasanya (ketidakadilan). Dari permasalahan tersebut tampak terang, kebijakan-kebijakan pendidikan yang direkayasa oleh para pemodal dan penguasa ini menjadi cermin betapa buruknya negara ini dalam mengelola pendidikan, dan betapa tidak warasnya pengelola ini memperlakukan masyarakat miskin.
II
EDUCATION FOR ALL;Amanah Konstitusi Yang Harus Diimplementasikan Pemerintah
Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Penggambaran inilah yang setidaknya tertuang dalam pembukaan UUD 1945 Pasal 31. kewajiban pemerintah untuk mengusahakan sebuah pendidikan nasional, menjadi parameter dasar dalam membangun kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia seutuhnya. Maka tidak heran, jika beberapa waktu belakangan ini, masalah pendidikan menjadi sorotan utama dalam permasalahan negara kita. Jika disimak lagi dalam pembukaan UUD 1945, pemerintah memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa . pada konteks inilah yang pada akhirnya menjadi akar permasalahan tentang kewajiban yang harus dilaksanakan negara terhadap rakyatnya dibidang penyelenggaraan pendidikan. Dari berbagai sudut pandang, ketidakmampuan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan menjadi sebuah pertanyaan besar, karena pada dasarnya dalam pasal 31 ayat 2 ada sebuah jaminan akan pendidikan yang sifatnya gratis bagi setiap warga negara.
Selanjutnya dalam UU sisdiknas No. 20/2003 pasal 11 ayat 1 dan pasal 46 memperkuat bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Layanan pemerintah terutama untuk pendidikan dasar secara lebih jelas ditegaskan dalam pasal 34 ayat 2 dimana pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya.
Maka apabila pemerintah dan pemerintah daerah memiliki paradigma dan visi yang benar tentang peran dan tanggung jawabnya terhadap penyelenggaraan pendidikan, kebijakan pendidikan gratis akan menjadi sesuatu yang wajar, atau bahkan sebuah keharusan. Kebijakan pendidikan gratis harus dipandang secara positif sebagai upaya nyata mematuhi tuntutan konstitusi dan menjalankan amanat undang-undang. Gagasan pendidikan gratis menjadi mungkin dan rasional untuk dilaksanakan karena didukung oleh ketentuan anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD serta pemberlakuan undang-undang nomor 32/2004 tentang otonomi daerah. Memang pada tahapan sekarang ini konstitusi menetapkan pembebasan biaya hanya pada pendidikan dasar, tetapi jiwa dan semangat perundang-undangan tersebut sejatinya menuntun kepada pembebasan biaya sekolah menyeluruh dari TK sampai Perguruan Tinggi.

III
EDUCATION FOR ALL ; Sebuah Harapan, Khayalan, Atau Keharusan
Ketentuan wajib belajar sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1984. tetapi karena tidak diikuti oleh kebijakan yang membebaskan biaya, maka dampaknya belum menggembirakan. Menurut data hasil susenas 2003, wajib belajar hanya berhasil 35,5%, selebihnya 64,5% gagal. Dari 42 juta usia sekolah (7-18 tahun) pada tahun 2003, pendduduk yang berpendidikan SD kebawah mencapai 64,5%, sementara 35,5% dapat menyelesaikan SMPnya, tetapi hanya 16,8% dari yang menamatkan SMP dapat melanjutkan ke SMA, lalu berapa persen dari yang menamatkan SMA dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi?, yang pasti prosentasenya jauh lebih rendah. Maknanya dalam usia lebih kurang 60 tahun merdeka, mobilitas sosial bangsa ini berjalan merayap, anak petani, anak buruh dan tukang, anak nelayan sebagian besar tidak bisa mengubah nasibnya, mereka tetap terkungukung dan terbelenggu kebodohan dan kemiskinan.
Menurut Prof. Beeby (1975) sebab terbesar anak tidak bersekolah adalah kemiskinan, budaya orang tua, dan sekolah yang tidak menyenangkan. Data susenas tahun 2003 membuktikan pernyataan ini, bahwa alasan utama anak tidak sekolah karena ketiadaan biaya 67% dan 8,7% karena membantu orang tua mencari nafkah. Dengan demikian jelas sekali bahwa alasan dominan anak tidak sekolah adalah ekonomi (75,7%). Ekspresi kemiskinan dalam konteks pembiayaan pendidikan adalah kesulitan masyarakat membayar berbagai iuran dari mulai uang pangkal, SPP sampai dengan pungutan-pungutan yang tidak jelas yang ditarik secara mandiri oleh lembaga pendidikan. Dan saya kira pendidikan gratis adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Dampak nyata dari pendidikan gratis adalah meningkatnya angka partisipasi sekolah (APS). Untuk memperkuat keyakinan kita tentang efektifitas penggratisan biaya pendidikan dalam hubunganya dengan peningkatan partisipasi sekolah , dapat dilihat dari hasil riset BAPPENAS dipenghujung tahun 2006 lalu tentang pembiayaan pendidikan. Riset tersebut menyimpulkan bahwa semakin banyak proporsi anak SD/MI dan SMP/MTs yang dibebaskan iuran sekolahnya disuatu provinsi, semakin tinggi partisipasi pendidikan pada jenjang tersebut. Oleh karena itu dalam salah satu rekomendasinya Bappenas menekankan agar pemerintah berupaya menyediakan layanan pendidikan yang bebas biaya sehingga memberi peluang bagi anak-anak dari keluarga miskin.
Fenomena dan bukti-bukti empirik diatas dapat disimpulkan bahwa selain angka partisipasi sekolah meningkat, dengan penerapan pendidikan gratis angka drop out dan angka tidak melanjutkan akan menurun, serta angka rata-rata lama sekolah akan meningkat . ini semua karena tingkat kemudahan masyarakat mengakses pendidikan menjadi semakin luas dan merata, tanpa membedakan golongan ekonomi. Fakta ini merupakan kenyataan tak terbantahkan bahwa kebijakan pendidikan gratis telah benar-benar menyentuh kebutuhan dasar masyarakat dan dalam jangka waktu tertentu akan berimplikasi secara signifikan pada peningkatan kualitas hidup dan perekonomian rakyat.

IV
BELAJAR DARI PENGALAMAN NEGERI PAMAN SAM; Memaknai Pendidikan Sebagai Faktor Sentral Peradaban Suatu Bangsa
Akhir tahun 1957, rusia meluncurkan pesawat sputnik. Amerika serikat terkejut dan merasa ketinggalan zaman. Politisi AS serta-merta menuding pendidikan sebagai biang keladi ketertinggalan AS dari Rusia. Presiden John F Kenedy menanggapi serius “rendahnya mutu” pendidikan saat itu dan mencanangkan program peningkatan mutu pendidikan. Hasilnya, tahun 1969, Neil amstrong mendaratkan Apollo dibulan.
Inilah yang kemudian disebut efek sputnik, keterkejutan atas ketertinggalan yang membawa pada kesadaran perlunya sebuah perubahan. Bangsa kita sebenarnya sudah sering dikejutkan berbagai lembaga internasional yang memberi penilaian yang tidak enak didengar. Salah satunya penilaian tentang rendahnya mutu SDM Indonesia yang menempatkan Indonesia diposisi amat rendah dan harusnya dari hal tersebut para elite kita bisa sadar bahwa pendidikan adalah factor sentral untuk membangun bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan bermartabat, karena memang Permasalahan pendidikan diindonesia akan menemukan titik temu apabila pemerintah kita menyadari dengan penuh kejujuran dan komitmen bahwa pendidikan merupakan modal utama untuk membangun bangsa ini menuju bangsa yang berkualitas.

Penulis Adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Angkatan 2005

0 komentar:

Posting Komentar